Adelio tercekat.
Mengapa pagi ini ketua KPU provinsi ini sepertinya sangat marah. Apakah belum minum obat darah tingginya?
Padahal dia mau menjelaskan, jikalau hal itu dia ambil kebijakan karena sama sekali tidak bisa menghubungi kawan-kawanya dan juga KPU Provinsi.
Sementara di lain pihak, para kontestan sudah pada marah dan meminta kebijakan darinya. Di tambah lagi karena regulasi Pemilu, bahwa surat suara hasil pemungutan suara Pemilu itu harus selesai dihitung pada hari yang sama.
Kata Bapak ketua tadi, ada yang melaporkan kepadanya. Siapa? Mengapa laporannya tidak lengkap. Seharusnya dia menjelaskan jika di sana itu tidak ada sinyal. Blank spot. Seharusnya jika ketua Provinsi itu bijak, dia wajib klarifikasi laporan orang itu kepada Adelio, dia harus mendengarkan penjelasan Adelio.
Nanti barulah dia mengambil keputusan dengan bijak setelah mendengarkan argumentasi kedua belah pihak. Ini hanya mendengar laporan sepihak saja langsung sudah marah-marah seperti kebakaran jenggot. Itu tidak bijak namanya.
“Tapi kan biaya pemungutan suara ulang itu mahal, Bapak. Kan lebih banyak mudaratnya, sementara persoalan itu sudah dise…”
“Diaaammm!” bentaknya, sehingga Adelio merasakan telinganya agak tuli oleh bentakan itu. Padahal hanya melalui telpon, apalagi kalau berhadapan muka.
“Kamu dengar ya. Dengar baik-baik. Yang pertama, meskipun uang untuk pelaksanaan pemungutan suara ulang itu besar, itu bukan uangmu. Itu uang negara. Jadi tidak perlu merasa sayang atau rugi.”
“Yang kedua, jangan pernah kamu mengambil kebijakan sendiri. Semuanya harus melalui mekanisme pleno. Jadi jangan pandai-pandai membuat kebijakan sendiri padahal sama sekali tidak bijak. Itu hanya bijak di sana tetapi tidak bijak sini.”
“Yang ketiga, kalian di kabupaten itu hanyalah eksekutor terhadap segala peraturan dan perundang-undangan. Jangan pandai-pandai mau main tafsir segala. Itu tugas kami di provinsi. Karena kami sebagai supervisor, jadi kami yang lebih paham. Karena kami langsung koordinasi ke KPU pusat, yang sebagai regulator. Paham?”
“Ya, pak. Paham,” sahut Adelio lemas dan sama sekali tidak berminat lagi untuk berdebat dengannya. Tidak ada gunanya. Padahal dia hanya mau menjelaskan, jika antara manfaat dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk pemungutan suara ulang itu tidaklah signifikan. Sehingga jika hal ini bisa diterapkan di seluruh Indonesia, entah berapa triliun uang negara yang bisa dihemat dalam satu kali pelaksanaan Pemilu.
Seharusnya pihak yang berkompeten membuat undang-undang atau peraturan tidak semata-mata berdasarkan hitam diatas putih, tetapi ada kebijakan lain yang lebih bersifat manusiawi dan tidak boros dana.
Sama seperti seorang suami yang memarahi isterinya yang selingkuh dengan laki-laki lain. Isteri dan selingkuhannya itu lalu di bunuh, dengan alasan demi menjaga dan menegakan sebuah harga diri.
Tetapi akhirnya dia masuk penjara dan bahkan terancam hukuman mati. Anak-anak mereka akan menjadi yatim piatu. Mengapa tidak dia bercerai saja, lalu mencari isteri baru. Bukankah itu lebih baik? Anak-anak mereka masih punya orang tua, dia tidak terancam hukuman mati. Karena cinta itu tidak bisa di paksa, toh?
“Hey. Masih di situ tidak?” tiba-tiba terdengar suara kemarahan ketua KPU Provinsi itu yang secara instan saja membuyarkan lamunan Adelio.
“Masih, Bapak.”
“Bisa dimengerti, tidak?”
“Bisa, Pak.”
“Bisa dilaksanakan?”
“Bisa, pak.”
“Baik.”
Lalu komunikasi pun diputuskan.
Adelio menarik nafas panjang.