Integritas Penyelenggara Pemilu

Yovinus
Chapter #40

40-Pindah Hotel Karena Ancaman

Adelio menarik nafas panjang beberapa kali, kemudian dengan perlahan dia menuju ke tempat ayahnya.

“Ayah,” panggil Adelio lembut ketika sudah dekat dengan tempat duduk ayahnya.

Tetapi ayahnya sepertinya tidak perduli, karena dia tidak mendengar panggilan Adelio.

“Ayah,” panggil Adelio lagi dengan nada sedikit lebih keras.

“Apa?” tanya ayahnya setengah berteriak, karena memang ada sedikit gangguan pada pendengarannya. Maklumlah umurnya sudah diatas tujuh puluh tahun.

“Saya mau berangkat ke Jakarta. Kami ada sidang di sana, menghadapi tuntutan caleg dan juga ada sidang gugatan PHPU antara kedua kubu.”

“Lalu di sini siapa?” tanya ayahnya bingung. Karena kalau Adelio berangkat, berarti hanya dia berdua dengan orang yang digaji Adelio untuk menjaganya.

“Ayah jangan khawatir. Ini kan bukan untuk pertama kalinya aku berangkat keluar daerah. Ada Cehan di sini yang menjaga ayah. Tapi ayah berjanji jangan kemana-mana lagi, ya.”

“Mau kemana lagilah. Di sinilah aku,” ujar ayahnya tanpa ekspresi. Padahal Adelio tahu pasti, nanti sebentar-sebentar ayahnya akan minta antar ke mana-mana.

“Bukan saya melarang ayah ke tempat para kakak dan Abang, mereka juga pada sibuk semua. Ayah di sini saja. Lebih baik menunggu aku pulang, ya Yah.”

“Lamakah kalian di sana?” tanya ayahnya seperti berteriak. Karena dengan tidak terlalu mendengar, dia berusaha untuk mendengarkan perkataannya sendiri, sehingga suaranya harus ditinggikan agar dia bisa mendengarnya.

“Saya tidak tahu Ayah,” sahut Adelio. “Tergantung lamanya sidang dan menunggu keputusannya.”

“Apakah sudah ditinggalkan?” tanya ayahnya sambil memberi kode uang kepada Adelio dengan jari telunjuk dan induk jarinya.

“Sudah. Nanti ayah tinggal minta saja mau dimasakan sayur apa. Saya sudah tinggalkan dengan Cehan,” jelas Adelio.

“Kalau nanti kalian pulang, tapi ini sudah habis, bagaimana?” tanya ayahnya lagi sambil kembali memberikan kode uang dengan induk jari dan jari telunjuknya.

“Ayah jangan khawatir. Aku bisa bisa transfer via ATM ke Cehan.”

Ayahnya hanya menggangguk. Tetapi Adelio juga tidak enak dengan ayahnya, dia keluarkan lagi uang beberapa ratus ribu dan diberikan kepada ayahnya, meskipun dia sudah memberikan uang untuk ongkos selama sebulan kepada Cehan.

“Kapan kamu pergi ke sana?”

“Besok malam. Naik bis.”

“Ooh,” desis ayahnya pendek. Lalu kembali asyik membaca buku kesukaannya, buku tentang para Orang Kudus yang mayatnya tidak membusuk sampai ribuan tahun.

 

***

 

“Hallo, sudah tiba di Jakarta?” terdengar suara ketua KPU Provinsi di seberang sana.

“Sudah, Bapak.”

“Di mana posisimu sekarang?”

“Di tempat biasa Bapak,” sahut Adelio sopan.

“Di penginapan murah itu lagi, kah?”

“Ya, Pak.”

“Kok menginap di situ lagi?”

“Maaf, Bapak. Uang SPPD saya tidak cukup, Pak.”

“Tapi anggota KPU yang lain kok bisa menginap di hotel yang lebih berkelas?”

“Mungkin mereka lain, Pak. Kalau kami kemarin, sekretaris dan bagian keuangan sudah wanti-wanti, karena setelah kami melihat DIPA kami secara teliti, kami tidak punya uang lagi. Jadi untuk antisipasi kalaulah sidang ini akan lama, maka saya tetap punya cadangan untuk membayar akomodasi.”

“Ya, Okay Deh. Tapi yang penting, kamu segera pindah dari situ!”

“Eh? Mengapa, Pak?”

“Caleg yang melaporkan kita ke Mahkamah Konstitusi itu sudah menandai kamu di situ. Ingat, kita bekerja ini tidak ada ansurasinya atau pun tanggungan lainnya oleh negara. Saya takut ada apa-apa dengan kamu. Yang penting pindah sajalah, terserah di mana. Jangan kasik tahu orang lain, termasuk saya.”

“Ya, Pak. Siap!”

“Nah, begitu. Begitu selesai pindah, langsung ke Novotel, ya. Siapkan berkas jawaban terhadap tuntutan mereka.”

“Baik, Bapak. Siap.”

 

Mau pindah ke mana lagi? Gumam Adelio dalam hatinya.

Lihat selengkapnya