Adelio berjalan masuk ruangan itu ke arah lebih dalam lagi. Dia menyibakan gordennya, ternyata di dalamnya banyak terdapat meja dan kursi dengan sudah banyak orang yang sedang berinteraksi di situ. Adelio menuju ke meja terakhir di sudut ruangan seperti yang disebutkan oleh Ibu tadi.
“Selamat siang, Bapak.”
“Oh ya, selamat siang!” sahut seorang laki-laki separuh baya dengan wajah jerawatan yang duduk di depan meja itu sambil mengintip Adelio dari atas kacamatanya.
“Selamat siang juga. Baik. Rotan ya? Sebentar, saya lihat dulu!” ujarnya lalu membuka-buka berkas dan membolak balikannya. “Nah, ini dia berkas tuntutannya.”
Setelah dia membacanya sebentar lalu dia menatap Adelio. “Jadi pemungutan suara ulangnya, karena ada pemilih yang membawa surat suara dari satu TPS dan memasukannya ke TPS lain, begitu?”
“Betul, Bapak.”
“Okay, baik. Jadi, kamu siapkan berkas-berkas C1 berhologram, surat-surat keputusan untuk melaksanakan Pemungutan suara ulang, dan semua dokumen yang dianggap perlu. Jika ada pihak terkait yang diperlukan sebagai penguat, masukan juga. Ini sebagai alat bukti dipersidangan. Ingat, susunannya harus rapi, sistematis, agar memudahkan hakim membacanya.”
“Siap, Pak.”
“Okay, paling lambat besok malam antar ke sini ya. Ingat, paling lambat sebelum pukul 00.00.”
“Siap, Pak.”
“Kalau ada yang masih bingung, ini kartu nama saya. Nomor yang bisa dihubungi, ada di situ.”
“Baik, Bapak. Terima kasih,” sahut Adelio sambil menerima kartu namanya.
***
Adelio bingung, bagaimana menghadapi tuntutan ini. Semua barang-barang dan dokumen yang diperlukan sebagai barang bukti, sebenarnya sudah di bawanya. Tetapi meskipun dia bukan orang hukum, menurut pemikirannya barang-barang itu biasa-biasa saja. Bukan bukti kuat untuk bisa memenangkan tuntutan ini.
Karena tuntutan caleg itu, mengatakan bahwa itu tidak perlu dilakukan pemungutan suara ulang, sehingga dia menuntut agar perolehan suaranya dikembalikan seperti yang seharusnya sebelum dilakukan Pemungutan Suara Ulang.
Ada setengah hari Adelio mondar-mandir di kamar hotelnya. Barang-barang bukti standar sudah di susun semua. Tetapi dia masih berpikir, rasanya masih ada yang kurang. Tuhan, tolonglah aku. Doanya dalam hati.
Seperti menjawab doanya, tiba-tiba dia terbayang ke C1 Plano. Ya. Itu dia. C1 Plano adalah tally yang dibuat oleh KPPS sewaktu mereka menghitung perolehan suara.
Cepat-cepat Adelio kembali membuka berkasnya lagi. Setelah berkutat beberapa lama, dapat. Ternyata C1 Plano juga ikut terbawa. Lalu Adelio menatapnya dengan teliti. Lalu diambilnya C1 berhologram.
C1 berhologram ini adalah hasil pemindahan dari C1 Plano yang dibuat sebanyak rangkap 7 oleh KPPS. Lalu Adelio membandingkan keduanya dengan teliti. Ya Tuhan. Terima kasih atas pertolonganmu. Seru Adelio dalam hati.
Karena terlihat jelas perbedaan hasilnya. Jadi memang sewaktu KPPS memindahkan yang tercatat di dalam C1 Plano ke C1 berhologram, ternyata sudah dilakukan perubahan. Di C1 Plano, caleg tersebut sama sekali tidak mendapatkan satu suarapun. Sementara di C1 Berhologram, dia mendapatkan banyak suara sehingga cukup untuk satu kursi.
Adelio lalu membuka kartu nama lawyer, lalu mengirimkan perihal itu. Tidak lama lawyernya menjawab. Nah itu dia. Itu bukti yang telak itu. Cepat di photocopy dan masukan ke dalam alat bukti.
“Siap, Pak!” jawab Adelio membalas pesan WA lawyer itu.
Lalu Adelio mengerjakan seperti yang disarankan oleh lawyer mereka.
Tiba-tiba masuk sebuah pesan WA. Dari Ketua KPU Provinsi.
“Di mana, kamu?”
“Lagi mempotocopy bukti-bukti untuk dipersidangan, Pak.”
“Baik. Kalau sudah selesai nanti, segera ke Novotel lagi ya. Kita susun di sini, takut ada yang masih kurang.”
“Baik, Pak.”