Adelio memasuki ruangan sekretaris setelah mengetuk pintu beberapa kali dengan perlahan. “Silakan masuk, saja!” terdengar suara pak sekretaris dari dalam ruangan. “Tidak di kunci, kok.”
Adelio membuka pintu dan masuk ke dalam.
“Silakan duduk, pak Ke ... Eh, aduh … maaf! Lidah ini latah sekali,” ujar pak sekretaris sambil tersenyum. Dia hampir saja menyebut pak ketua tadi.
“Terima kasih, Bapak. Tidak apa-apa,” tukas Adelio sambil tersenyum dan sama sekali tidak tersinggung.
“Apa yang saya bisa bantu nih, Bapak?” tanya sekretaris setelah Adelio sudah duduk di dalam ruangannya.
“Maaf, pak Sekretaris. Saya mau minta tolong,” ujar Adelio perlahan sambil menarik nafas panjang.
“Apa yang bisa saya tolong itu? Kayaknya serius sekali.”
“Ini … Saya minta tolong Bapak untuk membuatkan surat Serah Terima pengembalian mobil dinas yang saya pakai itu.”
“Oh itu. Aah, sudahlah. Bapak pakai saja. Mereka yang lainkan punya mobil pribadi semua. Jadi mobil ini tidak ada yang memakainya,” ujar pak sekretaris.
“Janganlah Bapak. Sayakan sudah tidak ketua lagi. Inikan sebenarnya mobil untuk ketua.”
“Oh. Tetapi juga tidak perlu pakai surat penyerahan segala, Bapak.”
“Jangan, Bapak. Saya perlu surat itu. Sebagai bukti hitam di atas putih bahwa mobil itu sudah saya kembalikan. Sehingga saya bisa tunjukan kepada kawan-kawan dan ketua yang baru.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Sebentar saya buatkan,” ujar pak sekretaris akhirnya mengalah.
“Okay lah, Bapak. Jika ddemikian, maka saya permisi dulu. Saya tunggu ya Pak,” kata Adelio.
“Wah … Kok buru-buru sekali Bapak. Ndak kita minum-minum dulu di sini. Sudah lama kita tidak bicara bersama dan minum bersama,” tawar pak sekretaris kepada Adelio.
“Terima kasih, Bapak. Tetapi saya harus segera membersihkan ruangan saya yang baru,” Jelas Adelio.
“Oh. Baiklah jika demikian,” desah pak Sekretaris paham.