“Saya juga harus berterima kasih karena kamu mencintaiku. Perlakuan yang lemah lembut adalah salah satu pertimbanganku mau menerimamu. Meskipun Abang tidaklah kaya raya, tetapi saya lihat Abang seseorang yang suka bekerja keras, rajin menabung, tidak mau korupsi, tidak mau menyakitkan hati siapapun, rajin belajar. Itulah diantara pertimbangan yang membuatku mantap menerima Abang.”
“Terima kasih Sayang,” desah Adelio sambil meremas tangan kekasihnya.
“Meskipun kamu janda, kamu sangat cantik. Kamu juga baik hati, tidak materialistis. Tidak mata keranjang, terbukti kamu mampu menolak godaan Ignacio yang sekolahnya lebih tinggi dan kaya raya. Itu yang membuatku nekat mempertahankanmu.”
Kedua pasangan kekasih itu saling pandang dengan mesra. Cinta keduanya sudah begitu dalam. Bukan cinta dilandasi dengan nafsu, tetapi nafsu yang dilandasi dengan cinta. Dengan pertimbangan akal sehat.
“Jangan kamu sebut lagi manusia celaka itu. Aku sungguh tidak suka padanya. Gara-gara dia aku jadi tidak enak denganmu ketika membeli scanner waktu itu,” desis Irabelle geram.
“Ya, Sayang.”
“Manusia itu hanya memikirkan nafsu saja. Untung aku tidak memenuhi ajakannya untuk berhubungan suami isteri. Kalau tidak, berarti aku benar-benar murahan. Padahal meskipun janda, aku tetap menjaga harga diriku.”
“Ya, sudahlah sayang. Tenangkan dirimu. Aku sungguh mencintaimu,” ujar Adelio sambil meremas dan mengelus tangan kekasihnya.
“Tetapi aku tetap janda, Abang. Aku terus terang khawatir jika suatu saat kamu ingin mendapatkan yang perawan,” Desah Irabelle perlahan. “Rasanya aku akan sangat cemburu, meskipun aku ini adalah janda.”
Adelio menggelengkan kepalanya. “Kalau aku mau mencari perawan, itu sudah lama kulakukan. Jadi kamu tidak perlu khawatir sayang. Justru karena menunggu Tuhan memberiku seorang wanita pendamping hidup yang tepat, hingga sampai usia 35 tahun ini aku belum menikah,” Kata Adelio menjelaskan.
“Juga, aku ini tidaklah murni seorang perjaka. Dulu sewaktu sekolah dasar, aku pernah tidur sekamar dengan seorang wanita. Hampir tiap malam dia memperlihatkan aku barang miliknya. Meskipun aku tidak pernah melakukan penetrasi, tetapi sudah ku anggap diriku sudah tidak perjaka lagi. Jadi aku akan selalu setia padamu, tanpa pernah memikirkan mau mencari perawan.”
Irabelle semakin meremas tangan Adelio. Saat dia mau berbicara lagi, pesanan mereka datang. Lucunya, justru mie tiawnya yang duluan selesai.
“Langsung makan atau kita tunggu minumannya?”
“Kita tunggu saja, takut nyangkut di tenggorokan lalu tidak ada yang di minum,” kata Irabelle.
“Oh ya, menurutmu kapan sebaiknya kita menikah?” tanya Adelio. “Karena tidak ada yang menghalangi kita lagi. Apa lagi aku sudah sangat ingin tidur bersamamu,” kata Adelio lagi sambil menatap Irabelle penuh cinta.
“Kalau saya sih, semakin cepat semakin baik. Tidak ada lagi yang perlu kita tunggu. Masalah studimu, biarkanlah kamu terus selesaikan, tidak perlu menikah setelah kamu selesai. Masalah tidur denganku, malam nanti juga bisa kalau Abang mau.”