Dia hubungi notulennya, siapa tahu bisa menunggu barang-barangnya sebentar, tetapi tidak ada jawaban. Dia memang sengaja tidak mau menganggu Irabelle, karena kasihan dengan kekasihnya itu. Dia tidak mau membuat Irabelle harus buru-buru ke kampus.
Oh, pikir Adelio. Tuhan selalu menolongnya. Mengapa tidak meminta tolong kepada Tuhan saja agar mengirim para malaikatnya untuk menjaga barang-barangnya?
Terpikir begitu, beberapa saat kemudian lalu Adelio memejamkan matanya dan berdoa dalam hati meminta perlindungan Tuhan terhadap barang-barangnya itu. Kemudian dia menutup pintu ruangan dan dengan mantap berjalan menuju kantor Satpam. Sama sekali tidak ada kekhawatiran lagi dihatinya.
“Ini harus ditekan agak lama, Bapak!” jelas satpamnya. “Maklumlah barang-barang buatan Cina ini, tidak terlalu responsive,” sambungnya lagi.
Kalau sudah tahu buatan Cina kualitasnya masih kurang baik dibandingkan buatan Jepang, kenapa masih tetap di beli juga?
Adelio kembali ke ruangan sidang dan melakukan apa yang diajarkan oleh Satpam. Tetapi sampai setengah jam, tidak ada reaksi. Akhirnya dia kembali lagi tempat Satpam.
“Mungkin baterainya sudah lemah Pak,” tukas Satpamnya. “Kita ganti baterainya.”
Setelah baterainya diganti, Adelio kembai lagi ke ruangan. Tetapi tetap tidak ada reaksinya. Lalu dia kembali lagi ke ruangan satpam, sehingga tubuhnya berkeringat.
“Kalau begitu, pakai ruang 5 saja, Pak. Ini remotenya pasti berfungsi. Karena proyektornya sama dengan yang di pakai disini. Katanya sambil mengujinya dengan proyektor untuk tayangan di pintu masuk, ternyata memang benar berfungsi.
Adelio kembali lagi ke ruangan sidang. Dia menghidupkan AC-nya, ternyata ruangan sidang ini AC-nya rusak. Beberapa kali dihidupkan, tetap tidak ada respon. Sial. Sekarang ruangan ini AC nya pula yang rusak, tetapi proyektornya bisa beroperasi.
Adelio menarik nafas panjang. Benar-benar menyebalkan. Tetapi dia tetap berusaha menyabarkan dirinya. Panjang sabar itu subur. Adelio lalu melepaskan jasnya dan dasinya, karena tubuhnya sungguh-sungguh sudah penuh keringat. Lalu dia berjalan lagi ke depan.
”Pak, ruangan 5 itu AC-nya tidak berfungsi,” ujar Adelio kelelahan juga karena sudah beberapa kali berjalan kaki bolak-balik dari ruang ujian ke arah Satpam di bagian yang jaraknya lumayan jauh karena lebih dua ratus meter.
“Oh, ya. Maaf, Pak. Saya lupa kasitahu. Memang ruangan 5 itu AC-nya belum diperbaiki. Sudah sih memberi tahu kepada service centrenya, tetapi mereka belum datang sampai hari ini.
“Jadi bagaimana ini, Pak?”
“Masih ada ndak tadi ruangan kosong di sekitar situ?”
“Kayaknya tadi yang diruangan 6 sudah keluar.”
“Okay, Deh. Bapak gunakan saja ruangan 6 itu. Remote controlnya sudah mereka ambil, jadi pasti sudah ada di sana.”
“Baik Pak,” kata Adelio lalu berjalan balik ke ruangan sidang lagi. Dia berjalan gontai, selain karena lelah sudah beberapa kali bolak-balik, tubuhnya juga sudah penuh dengan keringat.
Ketika dia mendekati ruangan, ternyata para dosen pembimbing dan dosen pengujinya sudah berdiri di rungan tunggu. Mereka bingung dengan ruangannya.
“Ada perubahan, Bapak dan Ibu,” tukas Adelio. “Kita pindah ke ruangan 6, proyektor di ruangan 4 ini tidak berfungsi.”
Mereka pun lalu segera menuju ke sana. Sementara Adelio sibuk memindahkan barang-barangnya termasuk konsumsi, yang dibantu oleh Notulennya yang kebetulan sudah datang.