Integritas Penyelenggara Pemilu

Yovinus
Chapter #69

69-Rumah Idaman

“Belum lagi campuran semennya tidak sesuai anjuran pabrikan semen. Juga segala kusen, pintu, dan jendela di buat asal-asalan. Baik bahan, bentuk dan cara pemasangannya juga serampangan. Jadi akhirnya saya memutuskan untuk membangun sendiri rumah kita dan tukangnya juga Abang bawa dari tempat kita di kabupaten Rotan.

“Wah, sebegitu telitinya engkau sayangku.”

“Itu semua untukmu, sayangku.”

Adelio masih mengelus tangan istrinya dan dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang dipikirkan istrinya. Tanpa terasa, beberapa menit kemudian mereka telah tiba di lokasi perumahan mereka. Rumahnya di di tepi jalan komplek, tetapi sekitar lima puluh meter dari jalan utama. Suatu tempat yang cukup aman dari arus lalu lintas yang ramai.

 

***

Ketika keduanya sampai di lokasi, terlihat Kho Acung, tukang mereka, sedang sibuk mengerjakan ruangan kerja Adelio. Tanpa menggunakan baju. Padahal udaranya panas sekali, maklumlah situasi kota Khatulistiwa di saat kemarau.

“Kok tidak pakai baju, Pak?”

“Di dalam rumah tidak apa-apalah Pak,” sahut pak Acung santai.

“Banyak nyamuk, Pak. Bapak bisa sakit nanti,” tukas Adelio lagi.

“Tidak apa-apa, Pak. Saya seminggu sekali makan daun papaya rebus...,” sahut pak Acung tenang. “Jadi malaria tuh lewat …”

“Yalah kalau begitu. Tapi kalau ada merasa sakit, cepat kasik tahu, ya!” tukas Adelio mengingatkan.

“Baik, Pak.”

“Oh ya, ini kue kesukaan Bapak!” ujar Adelio sambil menyerahkan sebungkus kue Theu Sa Piang kesukaan pak Acung tukang mereka ini.

“Terima kasih, Bapak. Kok harus repot-repot,” ujarnya, tetapi langsung mengambil dan memakan kuenya.

Adelio tersenyum saja melihatnya. Dia sangat tahu jika pak Acung sangat menyukai kue ini. Kue yang berbahan utama tepung pulut dan kacang hijau ini sebenarnya mengenyangkan sekaligus juga menyehatkan.

Tukangnya ini memang luar biasa, pagi-pagi sudah datang. Menjelang malam baru pulang ke tempat kostnya yang disewakan oleh Adelio tidak jauh dari rumah yang sedang dibangunnya. Memang dari segi rate upah, para tukang keturunan Tionghoa ini agak tinggi dibadningkan tukang dari etnis lainnya.

Tetapi hasil kerja mereka sangat bagus. Mereka kerjanya teliti dan sangat bertanggung jawab. Mungkin itu juga salah satunya yang membuat mereka rata-rata adalah orang kaya di Indonesia, karena mereka pekerja keras, ulet dan teliti serta bertanggung jawab.

Dia tidak akan pulang sebelum semua semen yang diaduknya itu selesai dikerjakan. Biasanya para tukang itu hanya menutupnya dan menambahnya dengan air. Tapi pak Acung tidak akan melakukan itu. Dia sanggup menunda makan siangnya atau pulang malamnya demi untuk menyelesaikan pengerjaan semen yang sudah terlanjur diaduknya.

Adelio melihat-lihat keseluruhan rumahnya. Ukranya tanahnya 40 x 30 meter. Sebenarnya satu kaplingnya hanya 20 x 30 meter. Kemarin sengaja di beli dua kapling, agar ke depannya bisa ada untuk taman dan untuk parkir mobil serta juga jika terpikir melakukan pengembangan.

Rumahnya sendiri berukuran 8 x 16 meter, di buat bertingkat. Di bagian bawah 2 buah kamar tidur, 1 ruang kerja, dapur dan satu ruang keluarga. Sementara di tingkat atasnya satu ruangan khusus untuk kursus Bahasa Inggris. Satu ruangan tempat bermain music sekaligus Home Theatre, dan satu ruangan lagi untuk tempat Gymnasium keluarga.

Tanahnya langsung dibuatkan tembok setinggi 160 centimeter. Sehingga sulit bagi pencuri untuk masuk. Rencananya empat sisi rumahnya mau dipasangi CCTV.

“Lantainya agak tinggi, ya Bang?” tanya Irabelle ketika melihat rumah mereka lebih tinggi dari rumah yang lainnya.

“Pontianak itukan sebenarnya hanya sekitar satu setengah meter dari atas permukaan air laut,” terang Adelio. “Sehingga banyak rumah yang bermasalah dengan WC-nya. Selain itu juga, kalau terjadi hujan deras dalam waktu lama, maka rumah kita ini akan bebas banjir.”

 

Dia memang penuh perencanaan dan perhitungan

Lihat selengkapnya