“Begini Bapak,” kata Adelio semakin semangat menjelaskan. “Ada beberapa hal bisa terjadi di sini. Yang pertama, ada kontestan yang sudah mengatur para anggota KPPS dan PPS itu sejak dari awal, misalnya menggiring agar orang-orang tertentu untuk terpilih memangku jabatan seperti menjadi anggota KPU, anggota PPK, anggota PPS, dan KPPS.”
“Waw, kan semuanya melalui tes, Bapak?”
“Ini Indonesia Bapak,” tukas Adelio sambal tersenyum. “Bapak kan orang politik, jadi pasti pahamlah. Apa yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia ini? Di luar itu mereka berkoar-koar bahwa seleksi penyelenggara Pemilu harus dilaksanakan sesuai regulasi dan integritas. Tetapi di belakang layar sudah diatur semuanya. Nyaris semua anggota Penyelengara Pemilu itu baik KPU dan jajarannya, Bawaslu dan jajarannya, DKPP itu ada partai atau Ormas berpengaruh di belakangnya. Hal ini nyaris dilakukan oleh semua pihak.”
Pak Jarot Winarno tertawa lepas, seperti tidak ada beban. Memang iya sih, apa yang tidak bisa dilakukan di Indonesia ini? Pikirnya dalam hatinya. Orang yang bersalah bisa menang dalam persidangan, orang yang benar bisa masuk penjara. Orang jahat berpura-pura alim dengan memainkan playing victim seperti malaikat dengan memframing hal-hal itu melalui media masa dan bahkan bisa memprovokasi orang lain untuk berangkat demo, dengan balasan nasi bungkus dan uang saku beberapa puluh ribu rupiah saja.
“Tapi kan tesnya transparan, Bapak?” tukas pak Jarot mengingatkan Adelio, jika tes di KPU dan jajarannya itu sangat ketat dan transparan.
“Ya itu tadi, Bapak. Apa yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia ini?” seru Adelio. Memang ada yang tesnya memang murni, tetapi banyak juga yang sudah masuk angin. Dia teringat akan kawan-kawannya di KPU lain pernah curhat dengannya, bahwa ada beberapa orang kawan mereka sebenarnya orang politik, tetapi bisa lolos juga.
“Mereka bisa melakukan itu melalui jalur diatasnya,” seru Adelio meneruskan penjelasannya. “Bisa melalui jalur KPU agar keinginannya bisa terwujud. Bisa melalui jalur kepala desa agar menggiringkan orang-orang-orangnya untuk bisa duduk. Bisa dengan bermain uang sehingga semua anggota KPPS dan para saksi di TPS itu bungkam. Bisa juga menggunakan intimidasi melalui masyarakat setempat. Atau semua jalan itu di tempuh secara simultan,” kata Adelio lagi sambil kembali minum segelas air putih, karena tenggorokannya terasa kering karena berbicara cukup lama.
“Waduh, ternyata masih juga ada celah, ya Pak Ketua?”
Adelio tertawa kecil. “Sebenarnya di dalam regulasi tentang Pemilu hal-hal seperti itu sudah berusaha diantisipasi oleh para regulatornya, tetapi para konstestan dan mungkin juga incumben yang akan maju, akan tetap punya celah untuk menyiasati dan untuk mengakali regulasi yang ada.”
“Jadi pak Ketua, saran pak Ketua bagaimana cara yang jitu untuk mengatasi hal-hal seperti ini?” tanya pak Jarot Winarno serius.
“Begini, Bapak. Tapi sebelumnya mohon maaf, perlu saya tegaskan bahwa informasi ini akan saya berikan sejelas-jelasnya kepada siapapun. Baik kepada Bapak atau siapapun kontestan yang bertarung jika bertanya kepada saya, ataupun ketika saya melakukan sosialisasi. Saya tidak boleh pilih kasih,” jelas Adelio serius.
“Baik Bapak. Tidak masalah. Saya percaya perkataan Bapak,” seru pak Jarot Winarno.
“Yang pertama; ada hal-hal yang Bapak harus perhatikan, yaitu bagaimana cara Bapak agar tim sukses dan para saksi Bapak itu setia kepada Bapak. Teknisnya saya yakin Bapak lebih paham. Karena di jaman ini tidak ada orang yang mau kerja bakti, Pak. Keluarga ataupun anak dan isterinya di rumah perlu makan. Motivasi mereka menjadi tim sukses dan saksi itu adalah uang.”
“Betul, Pak. Memang iya,” kata pak Jarot Winarno sambil tersenyum membenarkan perkataan Adelio.
“Yang kedua, usahakan semua saksi Bapak memiliki Smartphone berkamera lumayan, agar setiap C1 Plano itu di dokumentasikan dengan rekaman Video dan Photo. Sehingga bisa dijadikan alat bukti ketika ada perselisihan ataupun sengketa.”
“Baik, Bapak. Siap.”
“Yang ketiga, di dalam setiap rapat pleno dalam hal penetapan perolehan suara yang dilaksanakan jajaran KPU, baik di tingkat PPK maupun KPU Kabupaten, jika Bapak atau Tim Bapak ada merasakan atau melihat hal-hal yang janggal, boleh meminta kepada penyelenggara Pemilu agar membuka C1 Plano itu. Tetapi sebelumnya mintalah rekomendasi kepada Bawaslu.”
“Kalau mereka tidak mau melakukannya, bagaimana Pak ketua?”
“Maksudnya, mereka siapa Pak?”
“Maksud saya, misalnya anggota PPK ataupun, maaf, anggota KPU tidak mau?”
“Pasti mau Bapak. Itu pelanggaran kode etik. Mereka bisa dipecat dan sanksinya sangat berat, selama umur mereka tidak boleh lagi mencalonkan diri sebagai penyelenggara Pemilu di manapun dan di tingkat apapun di seluruh wilayah NKRI.”
“Ndak, maksud saya, begini pak Ketua. Seandainya masih ada diantara penyelenggara Pemilu itu tidak mau?” Seru pak Jarot kembali menegaskan maksud dari pertanyaannya.
“Itu namanya memang nekad bunuh diri, Pak. Kalau di PPK, bisa dilaporkan ke jajaran KPU. Kalau di KPU, selama saya ketua, tidak mungkin saya menolaknya sepanjang itu ada rekomendasi Bawaslu.”