Jam sudah menunjukan tepat pukul 08.45 WIB pagi. Adelio memasuki ruang pertemuan di gedung serbaguna milik kantor kecamatan Monuh itu. Memang Adelio selalu berusaha tidak korupsi waktu. Dia membiasakan dirinya selalu on time. Karena jadwal sosialisasi ini adalah pukul 09.00 WIB pagi. Sehingga nantinya generasi milenial yang mengikuti acara ini akan selalu teringat dan terbiasa dengan disiplin waktu.
Dia sekilas menyapu wajah-wajah yang hadir dalam ruangan itu satu persatu. Tadi dari ketua Panitia Pemilihan Kecamatan atau biasa di sebut PPK saja dia mendapatkan data, bahwa yang menghadiri sosialisasi ini berjumlah sekitar 500-an orang, terutama anak-anak dari sekolah-sekolah yang terletak di ibukota kecamatan dan daerah yang berdekatan.
Sosialisasi ini dikhususkan untuk anak-anak yang baru pertama kalinya akan ikut memilih di Pemilu. Jika 500 orang ini masing-masing menularkan ke 500 orang lainnya, maka akan terjadi penyebaran informasi secara berantai kepada 250.000 orang. Jadi pada tatanan kedua saja informasi sudah bisa menyebar ke 250.000 orang.
Memikirkan ini, Adelio jadi tersenyum sendiri. Diatas kertas sosialisasinya akan sukses menjangkau kaum muda. Karena dana sosialisasinya kecil, maka dia berusaha memberikan efek domino yang maksimal terhadap hasil sosialisasinya ini. Materinya sudah dipersiapkannya dengan sangat matang dan melalui revisi puluhan kali. Bahkan slide presentasinya diberi efek visual dan sound yang sangat mantap dan atraktif dengan sentuhan teknologi informasi modern.
Dia menghidupkan laptopnya yang sudah tersambung ke proyektor, sehingga dilayar proyektor tampak judul presentasinya. “Baik, adik-adik ku semua. Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua,” kata Adelio memberikan salam dalam membuka sosialisasi ini.
“Selamat pagi dan salam sejahtera, Bang. Pak,” jawab mereka serentak dan bergemuruh dalam ruangan itu. Ada yang memanggilnya ‘Abang’, sebagian lagi memanggilnya dengan ‘Pak’.
“Baiklah adik-adik. Abang minta dengan sangat, agar suara HPnya di nonaktifkan saja ya. Tidak perlulah dimatikan, nanti kalau ada notifikasi proyek satu milyar, kalau tidak direspon, malah bisa gagal deh proyek itu,” kata Adelio mencoba melucu agar suasana tetap kondusif. “Bisakan adik-adik?”
“Bisa Bang,” jawab mereka serentak dan bergemuruh.
“Nah, sekarang Abang mau tanya. Siapa yang sudah berusia tujuh belas tahun?” tanya Adelio lagi ketika suara riuh menyambut salam pembukaannya mereda.
“Saya, Bang. Saya Bang. Saya Bang,” kembali suara riuh menjawab sambil mengangkat tangan mereka.
“Terima kasih. Terima kasih, adik-adik. Abang senang sekali, semuanya antusias dengan acara ini,” tukasnya sambil mengangkat tangannya. “Sekarang Abang mau tanya, siapa saja di sini yang sudah pernah ikut nyoblos?”
Beberapa detik ruangan itu hening, lalu kemudian tiba-tiba suara mereka bergemuruh dengan teriakan “… Si Anu sering nyoblos, Bang. Si Anu sering di coblos, Bang. Anu dan Anu sering sama-sama nyoblos Bang,” teriak mereka bergemuruh sambil menyebut nama kawan-kawannya dengan berteriak dan tertawa-tawa senang. Bahkan ada yang menggendang segala meja kursi, sehingga suasana saat itu begitu ributnya.
“Baik. Baik. Adik-Adik. Coba tenang sebentar,” seru Adelio mencoba menenangkan mereka. “Yang Abang maksudkan itu adalah mencoblos surat suara di Pemilu. Bukan nyoblos yang lainnya,” tukas Adelio sambil tertawa ketika mereka mulai tenang. Kembali lagi teriakan riuh rendah di sana sini.