Semua komisioner dan staf pendukung sudah berangkat melaksanakan sosialisasi sesuai wilayahnya masing-masing. Hanya tinggal Adelio yang belum berangkat, karena tadi ada meeting dengan Kapolres terkait anggota kepolisian yang stand by di kantor KPU.
Hingga Adelio harus berangkat ke Tamenung besoknya, dalam rangka sosialisasi pemungutan dan Perhitungan Suara atau Tungsura. Kebetulan dia berangkat bersama Irabelle, salah seorang staff dari sekretariat yang merupakan seorang janda muda yang cantik jelita.
Irabelle yang bernama lengkap Gracelina Irabelle adalah seorang janda muda tanpa anak. Cantik. Ramping. Irabelle bertubuh harum. Selalu tercium jika melintas.
Meskipun berangkat bersama, keduanya masing-masing naik motor sendiri-sendiri. Ketika berangkat cuacanya masih cerah. Mereka tidak bisa cepat berangkat, karena harus menunggu uang perjalanan dinas, yang siang baru bisa dicairkan oleh bagian keuangan sekretariat.
Setelah semuanya siap, mereka bersiap berangkat. Lucunya, motor keduanya sama-sama Supra X 125 PGM-FI. Hanya beda warnanya saja. Motor Yamaha RX King Adelio masih di bengkel.
“Siapa duluan ni, Pak?” tanya Irabelle dengan sikap agak malu-malu. Meskipun dia janda, tetapi entah bagaimana, dia merasa kikuknya juga akan pergi berdua dengan ketua KPU kabupaten yang masih jomblo ini.
“Lady’s first,” ujar Adelio sambil tersenyum.
“Ih, Bapak. Bapak saja, ya. Saya lebih enak mengekor dari belakang,” ujar Irabelle dengan nada manja dan masih mencoba tawar-menawar. Entah mengapa, dia merasa malu diikuti oleh Adelio, ketua KPU kabupaten Rotan yang masih muda ini.
“Sebaiknya nona saja, biar saya bisa menjagamu dari belakang. Lagian kalau saya duluan, takut nanti kelajuan lalu kamu ketinggalan. Kasihan dong, nanti ketemu binatang buas, siapa yang melindungi?” tukas Adelio meyakinkan Irabelle.
Meskipun dia sudah janda, tetapi entah mengapa rasanya senang saja jika Adelio selalu memanggil dia nona. Perasaannya memang masih seorang gadis, karena memang dia dulu menikah masih berumur 20 tahun dan dua tahun kemudian lalu bercerai tanpa anak.
“Ya deh, Pak.”
Irabelle tidak membantah lagi, dia memasukan gigi motornya ke gigi satu lalu di gas perlahan, motornya perlahan bergerak maju. Kemudian gigi dua, lalu di gas lagi. Gigi tiga, lalu di gas lagi. Terakhir gigi empat dan kemudian konstan pada kecepatan sekitar 40-45 km perjam.
Adelio segera menyusul dari belakang dan selalu mengikuti kecepatan motor Irabelle. Kalau dia agak melaju, Adelio pun menaikan gasnya. Tapi begitu kecepatan Irabelle menurun, diapun segera menginjak rem tangan dan kaki secara serentak dan langsung mengganti gigi motornya ke posisi gigi rendah.
Dalam perjalanan ini Adelio selalu memperhatikan janda muda di depannya. Entah mengapa, dia merasa berkewajiban untuk melindungi wanita ini. Entah karena dia wanita? Atau karena ketika pertama bertemu mereka bertubrukan dan Adelio merasakan kelembutan dan kehangatan tubuh janda ini? Atau karena memang dia sudah jatuh cinta?
Entahlah. Sehingga karena dalam benaknya penuh khayalan dan pemikiran tentang Irabelle, tanpa sadar mereka sudah menempuh perjalanan sekitar 3 jam ketika sekitar 2 km telah meninggalkan kampung Landau Mumbung.
Hari sudah sangat mendung. Tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Mereka hampir tidak mampu menaiki jalan yang berbukit. Derasnya air hujan yang mengalir di badan jalan laksana air bah meluncur ke bawah.
Beberapa kilometer kemudian, keduanya lalu memutuskan melalui jalan pintas, yang berbelok ke sebelah kanan. Sebuah jalan yang sebenarnya milik perusahaan sawit, jalan untuk mengangkut buah sawit hasil perkebunan mereka.
Dengan melalui jalan pintas ini, Adelio dan Irabelle berharap bisa menghemat jarak sekitar 18 km dibandingkan melalui jalan normal, sehingga perkiraan mereka akan lebih cepat sampai.
Tetapi inilah kesalahan mereka berdua. Ternyata jalan pintas itu begitu becek dan sangat lengket ketika hujan, karena jalannya terdiri dari tanah kuning. Sementara kalau jalan negara tadi, meskipun belum diaspal tetapi lebih lebar dan sudah banyak dikeraskan dengan pasir.
Setelah menempuh jarak sekitar sepuluh kilometer, motor mereka pun sudah tidak bisa bergerak lagi. Spak bor, bannya dan seluruh badan motor sudah penuh lumpur. Mundur ke arah datang tadi juga tidak mungkin. Maju ke depan masih jauh. Di situ tidak ada kampung atau pondok, karena jauh dari kantor perusahaan.
Suatu saat sepeda motor mereka betul-betul tidak bisa bergerak lagi. Hal itu memang masuk akal, karena ban sepeda motor khusus jalan aspal di pakai untuk kondisi lapangan yang berat. Mereka hanya bisa maju sedikit-sedikit, kemudian penuh lumpur lagi. Beberapa kali lumpur dibersihkan dari bannya, tetapi tetap tidak banyak membantu.
Mereka lalu berhenti. Melamun. Hujan masih turun dengan deras.
“Bagaimana selanjutnya kita, Pak?” tanya Irabelle kebingungan.
Badannya yang dibalut mantel itu tampak kedinginan karena diterpa hujan, meskipun masih berlindung di balik mantelnya, tetapi hawa dingin mau tidak mau mempengaruhinya juga.
“Kalau kita kembali, itu mustahil. Karena ke arah Landau Mumbung tadi sekitar sepuluh kilometer,” jelas Adelio.
“Jadi menurut Bapak, sebaiknya kita bagaimana?” tanya Irabelle menanti keputusan Adelio.
“Kalau kita maju, sebenarnya lebih dekat, sekitar delapan kilo meter akan sampai dipersimpangan dengan jalan negara.