Keduanya tidak banyak bicara. Keduanya terus melangkah menebus malam dengan mengandalkan cahaya senter dari aplikasi HP. Suara langkah kaki mereka yang berirama terkena air dan lumpur saja yang mengeluarkan bunyi berirama seperti nyanyian mistis.
Sekitar tiga kilometer kemudian, Irabelle minta beristirahat karena kakinya sakit. Mereka lalu memilih sisi jalan yang terdapat banyak batu untuk menimbun jalan. Air hujan masih turun cukup lebat.
Irabelle duduk. Merasa sangat lelah. Juga jari kakinya terasa amat sakit.
“Mengapa, Non? Lelah?”
“Kaki saya sakit, Pak.”
“Masih mampu berjalan?”
“Rasanya sudah tak mampu lagi, Pak.”
Adelio menghela nafas panjang. Melirik jam tangannya, pukul 21.04. Artinya mereka telah berjalan kaki sekitar tiga jam.
“Bagaimana ini, Pak?” tanya Irabelle sambil meringis menahan sakit.
“Kita harus tetap berjalan. Menurut perhitungan saya, sekitar dua atau tiga kilometer lagi sampai dipersimpangan. Di sana kita bisa menunggu kendaraan lewat,” tukas Adelio.
Irabelle mengeluh. “Tapi kaki saya betul-betul sakit, Pak. Kayaknya lecet.”
Adelio terdiam sebentar. Tetapi mereka tidak mungkin menunggu sampai pagi di sini. Masih terlalu lama untuk sampai ke paginya. Tapi, apa mungkin memaksa Irabelle terus berjalan. Sementara kakinya jelas lecet?
“Boleh Bapak lihat kakimu?” tanya Adelio sambil mengarahkan senter HPnya ke arah kaki Irabelle.
Irabelle membuka sepatu cats-nya dan melepaskan kaus kakinya, lalu menaikan kaki celana panjangnya. Terlihat kakinya yang putih mulus terkena sinar lampu HP, apalagi setelah terkena air hujan. Semakin putih. Sebagai laki-laki normal, tentu jakun Adelio turun naik.
Terlihat ujung jari manis kakinya memang lecet. Ketika membuka sepatu di kaki sebelahnya, kondisinya juga sama. Lukanya tidak tampak besar, tetapi bagi yang pernah merasa, maka akan tahu betapa sakitnya itu.
“Kasihan kamu, Non!” ujar Adelio melihat kondisi Irabelle.
“Demi Pemilu sampai begini, ya Pak?” sahutnya dengan nada sinis.
“Tidak apa-apa. Ini sumbangsih kita terhadap bangsa dan negara.”
“Tapi orang luar mana tahu, ya Pak? Bagaimana beratnya perjuangan kita. Malahan mereka hanya pandai menuduh dan curiga saja dengan orang KPU,” tukas Irabelle sambil memasang kembali kaus kaki dan sepatunya, lalu kembali menurunkan gulungan celana panjangnya.
“Tidak apa-apa, non. Kita sudah memilih bekerja seperti ini, anggaplah bagian dari resiko pekerjaan!” sahut Adelio menghiburnya. “Lagi pula memang banyak orang KPU yang kerjanya tidak benar.”
Mereka harus terus berjalan. Tapi sepertinya kondisi kaki Irabelle memang tidak bisa dipaksakan lagi. Adelio puas memikirkan caranya.
Tapi sebenarnya masih ada jalan keluar.
“Saya gendong saja kamu, Non! Agar kita tetap bisa berjalan, ya?” tawar Adelio.
“Tapi, Pak …,” sela Irabelle jengah. Namun tidak meneruskan kata-katanya. Malu dia memikirkan digendong oleh Adelio. Karena pasti bagian depan tubuhnya mau tidak mau akan menyentuh punggung lelaki itu. Akan tetapi kayaknya memang tidak ada pilihan lain lagi.
“Saya minta maaf kalau itu menyinggung kamu, Non. Tapi kita harus sampai ke persimpangan jalan provinsi. Tidak mungkin kita menunggu di sini sampai pagi.”
“Ya, Deh Pak. Saya paham,” tukas Irabelle tertunduk malu, tetapi Adelio maklum akan rasa malunya. “Ndak apa-apa,” ujar Irabelle lagi.
Adelio lalu mengikat kedua tas ransel mereka di pinggangnya sebelah depan. Kemudian dia menggendong Irabelle. Terasa sepasang bukit kembar janda muda itu dengan lembut menekan punggungnya.
Aliran darah di tubuh Adelio terasa lancar kebagian tubuhnya yang lain. Sebagai laki-laki sehat dan sangat normal, kelaki-lakiannya langsung mengeras full. Untung keadaan gelap, sehingga Irabelle tidak melihatnya.
“Pegang yang erat, ya Non. Agar tak jatuh!” saran Adelio mengingatkannya sambil mulai melangkah.
“Ya, Pak.”