Intrik

Eko Hartono
Chapter #2

Chapter 2: Aroma Persaingan

Pukul tujuh lebih sepuluh menit pagi Dina sudah tiba di kantor. Bersamaan dengan karyawan di bagian kebersihan. Benar kata Ibu Shinta, mereka memang sangat disiplin. Sementara karyawan bagian staf sama sekali belum ada yang hadir. Dina segera menuju ke mejanya. Karena belum ada yang bisa dikerjakan, Dina bergerak mencari kesibukan sendiri. Mengumpulkan sampah kertas yang bertebaran di kolong meja atau mengelap kaca jendela.

Sambil memunguti sampah-sampah kertas dan memasukkan ke dalam keranjang, Dina iseng membaca kertas-kertas yang tak terpakai itu. Biasanya berisi ketikan yang tak jadi, catatan-catatan kecil, malah ada catatan belanja segala. Tapi ada secarik kertas yang membuat Dina sangat tertarik. Berisi tulisan tangan berbunyi; SEGERA DIKIRIM KE REKENING INI, lalu ada nomor rekening sebuah bank swasta.

Dina tertegun. Kertas ini ditemukan di kolong meja Ryan, staf bagian keuangan.

“Ngapain kamu di sini?” tiba-tiba sebuah teguran mengejutkan Dina.

Gadis itu buru-buru meremas kertas tadi ke dalam genggaman. Di hadapannya sudah berdiri Sheila, manajer bagian keuangan, dengan sorot mata diliputi curiga. Dina jadi agak gugup. Dia khawatir statusnya sebagai pegawai baru menjadi alasan untuk menuduhnya berlaku tidak baik.

“Aku sedang mengumpulkan sampah-sampah kertas,” kata Dina.

“Oh ya, kamu masih trainner kan? Bagus! Kamu pantas mengerjakan hal seperti itu!” ujar Sheila bernada cemooh.

Dina mengatupkan geraham. Dia segera berlalu meninggalkan gadis sombong itu. Kembali ke mejanya sendiri. Dina tahu, beberapa pegawai staf di kantor ini memang tidak semuanya berlaku ramah. Mereka berlagak angkuh dan sombong. Hanya beberapa saja yang bersikap ramah dan akrab. Ada juga yang tampaknya ramah dan sok akrab, tapi sebenarnya serigala.

Dina mulai paham ada semacam intrik dan persaingan tak sehat dalam kantor ini bukan hanya dari cerita Ibu Shinta, tapi dengan mata kepala sendiri dia menyaksikan. Dina pernah dibuat tegang melihat dua orang staf dalam ruang sama berdebat sengit hanya karena soal data yang tidak sama angkanya. Dia juga sering melihat saat break makan siang, di kantin beberapa karyawan berkumpul dengan kelompoknya masing-masing.

Tapi mungkin itu hal biasa terjadi di semua kantor. Tiap orang punya ambisi dan kepentingan pada karir. Mereka yang tidak berambisi cukup puas dengan meja yang ditempatinya, tidak ikut-ikutan dengan intrik dan persaingan yang terjadi. Tapi ada pula yang nyaman dengan posisinya karena tergolong basah dan bisa main selintut.

Sama saja.

Di mana-mana selalu ada oknum antagonis. Dunia bukan hanya tempat bagi manusia-manusia berperilaku nabi. Dina sendiri tak mau terlibat jauh dengan persaingan yang ada di kantor itu. Dalam benaknya hanya ada satu pikiran; bekerja dengan sebaik-baiknya. Sebagai pegawai baru dirinya berusaha menunjukkan kinerja dan loyalitas yang tinggi. Soal pencapaian karir atau reward itu akan mengikuti dengan sendirinya.

Namun, meski sudah bekerja dengan baik dan disiplin masih saja ada ujian dan hambatan yang datang. Mungkin sudah menjadi kebiasaan umum, orang baru selalu mendapat gojlokan. Tidak yang namanya siswa baru, mahasiswa baru, tapi karyawan baru juga mendapat gojlokan dari seniornya. Dan Dina merasakan benar aroma senioritas sangat kental di kantor ini.

Mereka yang merasa dirinya lebih tua, lebih senior, lebih tinggi jabatannya, atau lebih lama bekerja seakan berhak berlaku sewenang-wenang pada karyawan baru. Jika mental dan jiwanya tidak terlalu cukup kuat menghadapi sikap mereka, mungkin dari awal Dina memilih mundur. Tapi Dina bukan tipe gadis yang cengeng dan mudah putus asa. Perlakuan tidak simpatik dari para senior dan pegawai lama dijadikan sebagai batu ujian.

Hanya dengan sikap sabar, tenang, dan nrimo, dia bisa meng-counter semua itu. Prinsip Dina, selama dirinya bersikap dan berperilaku benar, tak ada kata takut atau mundur menghadapi semua persoalan. Tapi kadang-kadang perlakuan para seniornya itu memang agak kelewatan. Seperti misalnya ada yang menyuruhnya membuatkan kopi dan mengepel lantai ruang kerja. Bahkan ada yang menyuruhnya beli makanan di luar kantor.

Mungkin tak jadi masalah yang menyuruhnya itu terbilang ‘bos’ atau punya jabatan tinggi seperti Ibu Shinta. Tapi yang menyuruhnya itu hanya pegawai biasa seperti dirinya. Ibu Shinta yang paling punya wewenang besar saja tak pernah memperlakukannya seperti itu. Dina hanya bisa menyimpan kedongkolan dalam hati. Dia berusaha tetap tenang dan tersenyum walau perlakuan yang didapatkan teramat menyakitkan dan merendahkan harga dirinya.

Dia selalu mengingat wejangan Bu Shinta bahwa untuk mencapai puncak dan menjadi orang sukses butuh perjuangan tidak ringan. Salah satunya mau menerima kritik, tantangan, dan perlakuan tidak simpatik dari orang lain. Karena bukan tindakan baik saja yang mengangkat derajat manusia, tapi juga mampu menahan diri dari membalas perlakuan buruk orang lain. Disitulah nilai plusnya.

“Hai, Dina! Kemari!” Tiba-tiba seruan Sheila dari meja kerjanya mengejutkan Dina. Sebenarnya Sheila tak perlu harus berteriak karena meja kerja Dina tak berada jauh darinya. Tapi begitulah gaya seseorang yang berambisi jadi bos. Dia merasa tak puas bila belum berteriak atau menarik perhatian orang di sekitarnya.

Dina bergegas menghampiri seniornya itu.

“Ya, Mbak. Ada apa?” tanya Dina dengan halus dan sopan.

Lihat selengkapnya