Riana berdiri dengan perasaan kecewa yang teramat dalam. Dia hanya ingin kisah cintanya berakhir bahagia seperti kisah cinta dalam novel cinta yang selalu dia baca. Cinta yang akan selalu bersemi sepanjang masa.
Tapi mengapa harus semenyakitkan seperti ini rasanya. Dia bahkan tidak pernah menyangka dan tidak ingin seperti ini. Haruskah dia menangis sekencang-kencangnya sekarang ini, hanya untuk menghilangkan segala rasa sakit yang ada. Sebuah keputusan yang sangat dia benci.
Mereka telah menjalani kehidupan percintaan yang sudah lama, bahkan sejak masih sama-sama di bangku SMA. Tapi ... setelah apa yang dia lakukan untuk mempertahankan hubungan ini, dia harus terluka.
Riana memandang datar tanpa ekspresi ke arah mantan durjanah, surjana, marijana atau apapun itu. Dia benar-benar benci berada di depan lelaki seperti Fauzan. Benar-benar tidak tahu diri, sudah menyebutkan nama Riana dengan lantang.
"Apa kabar Na?" Bertanya kabar pula? Dia sehat otak, atau matanya sudah rabun? Jelas-jelas Riana berdiri di depannya dengan tegak dan anggun, tentunya sehat wal afiat.
"Miss" tarikan tangan kanannya berhasil membuat Riana mengurungkan niatnya untuk mengumpati mantan terlaknatnya itu dalam hati.
"Miss Na, aku pulang dulu ya, dada!" Bocah kecil itu berlari ke arah Fauzan.
Fika menarik Riana mendekat kearah Raja, tapi mata Fauzan masih setia melirik Riana. Raja mengerti dengan situasi semacam ini, dan dia dulu sekali pernah mengalami hal serupa bersama mendiang Kalilah dan Abangnya sendiri. Raja hanya diam, sampai Fauzan berpamitan dengannya dan pergi.
"Saya tebak, kalian pernah ada sesuatu dulu?" Riana hanya tersenyum, dan Raja selalu menyukai senyuman itu, "tidak mau diselesaikan lebih dulu?"
Riana terkekeh pelan, diselesaikan lebih dulu? Semuanya telah usai dari beberapa tahun yang lalu. Jadi, sudah tidak ada lagi yang harus diingat dan diselesaikan lagi. Semuanya telah usai.
"Udah tamat." Riana kembali tersenyum, "saya nggak tahu kalau kamu Omnya Fika yang selalu dia maksud."