Dia tiba-tiba saja berhenti, itulah yang dikatakan semua orang soalnya. Aku bahkan mengikuti dua orang guru sedang berjalan ke arah ruang guru dan berbincang-bincang soal Anya Felda.
"Saya juga khawatir. Bu Vera sudah datang ke rumahnya tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Tidak ada nomer yang bisa dihubungi, Bu Rahmi."
"Kasihan sekali anak itu, sepertinya dia memang tinggal sendirian. Benar-benar tidak ada kabar soal orang tuanya?"
"Orang tuanya sudah cerai. Saya agak sulit menghubungi mereka karena tampaknya keduanya juga tidak sedang di tempat."
"Dia tidak punya nenek atau saudara?"
"Saya juga ingin tahu jika memang dia punya, Bu Rahmi."
"Semoga saja anak itu baik-baik saja."
Dan kemudian dua guru itu sudah masuk ke dalam ruang guru. Aku menghentikan langkahku di ambang pintu. Menatap kosong ke depan dengan kernyitan di kening.
Mustahil, itulah yang aku pikirkan, bagaimana mungkin seseorang bisa menghilang begitu saja? Itu sudah dua minggu dan aku tidak menemukannya. Seharusnya Anya bukan seorang yang sulit ditemukan, tempat persinggahan gadis itu sangat mudah dicari. Dia hanya ada di kelas. Saat jam istirahat dia mungkin ke kantin sendirian atau ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Karena dia murid yang rajin dan pintar, dia terkadang diminta ke ruang guru, mungkin untuk membantu mengoreksi beberapa tugas.
Aku nyaris menghapalnya karena aku sudah melakukannya nyaris selama setahun. Setahun! Aku tidak akan mengatakan bahwa diriku sudah gila, aku juga bukannya sedang terobsesi oleh sesuatu. Hanya saja, aku selalu mencoba menemukan kata yang tepat, aku mungkin bisa penasaran setengah mati jika tidak melihat gadis itu sebentar saja.
Kemudian rumor mulai beredar. Gadis itu menghilang, seperti hantu, begitu saja, tanpa seorang pun tau termasuk orang tua dan teman-temannya. Sekarang aku tidak hanya penasaran, aku khawatir karena aku tahu dia tidak punya siapa-siapa.
Saat jam pulang sekolah, aku langsung menghampiri Radit yang sedang sembunyi di bawah meja. Dia bermian laptop dengan konsol selama jam pelajaran terakhir tadi.
"Pinjam motormu," kataku padanya.
Dia melirik-lirik ke arahku tak rela, "hah? Buat apa?"
"Ada, aku pinjam dulu, nanti aku balikkan ke rumahmu."
"Motormu belum keluar bengkel?"
"Belum," aku meraih tasnya dan mengambil kunci yang pasti ia letakan di resleting depan ranselnya itu sebelum kemudian ku bawa lari. Tak kuhiraukan teriakan Radit setelahnya.
Aku mendapatkan alamat gadis itu dari ketua kelasnya. Itu bahkan tak butuh dua puluh menit dengan motor dan aku sudah memasuki komplek rumahnya. Sebuah rumah minimalis dua lantai berwarna oren muda dan garasi mobil yang kosong. Terasnya kotor tampak tidak dibersihkan selama berminggu-minggu. Jendela depan di lantai bawah ditutup, begitu pula di lantai atas. Tampaknya memang tidak ada orang di dalam. Aku bahkan memastikan bahwa gembok pagarnya memang terkunci.
"Kamu teman sekolah Anya?" Seorang bertanya di balik punggungku. Aku berbalik dan menemui seorang wanita 40 tahunan.
"Ah, ya," jawabku tak tahu harus apa.