Aku mungkin adalah orang pertama yang menyelesaikan ujian lebih dulu. Aku mengisi semuanya satu jam setelah ujian di mulai. Lagipula mata pelajaran sosiologi tak terlalu susah untukku. Aku langsung menuju pintu keluar. Selagi menunggu Radit, aku memainkan ponsel di dekat pintu keluar. Ternyata, Radit butuh waktu lebih lama dari yang aku kira. Semalam dia mengaku tidak sempat belajar karena mementingkan jalan-jalan dengan kakaknya. Dia bahkan bilang rela tidak tidur semalaman untuk belajar, nyatanya dia sampai datang terlambat karena tidur kesiangan. Sekarang dia pasti kesusahan mengerjakan ujiannya. Aku hanya bisa menghela napas berat.
Setelah satu jam berlalu, aku menunggu di bangku yang ada di halaman depan sekolah. Aku melihat Anya keluar dari pintu depan dengan langkah yang dipercepat. Aku bahkan tidak bisa mengalihkan tatapanku darinya. Aku berdiri dari tempatku, benar-benar hendak menyapanya dan bertanya bagaimana kabarnya. Aku juga bisa sekaligus mengenalkan namaku padanya namun segerombolan perempuan lebih dulu menghampiri Anya dan menghadangnya.
"Jadi itu kan alasanmu menghilang selama sebulan? Ke mana kamu menyembunyikan gelangku? Kamu menjualnya?" Aku melotot dan berbalik ke arah lain. Mereka sedang bertengkar kan, sudah pasti. Dan apa itu barusan maksudnya?
"Hari sebelum kamu menghilang, gelang itu juga menghilang. Terakhir aku menyimpannya di loker sehabis olahraga. Kamu satu-satunya yang nggak ke mana-mana, kamu juga duduk di belakangku. Semuanya sudah mengarah ke kamu, mau alasan apa lagi?"
Aku memutar tubuhku sedikit agar bisa memerhatikan mereka. Anya tampak menatap gadis yang menyerbunya itu dengan tatapan lekat.
"Aku tidak serendah itu," katanya yang membuatku terkesima sebentar, "aku tidak serendah itu untuk mencuri barang milik orang lain," dia mengulangi.
Gadis di hadapannya tertawa sinis, "aku juga akan bilang begitu setelah dapat sepuluh juta."
Lagi-lagi Anya hanya terpatung menatap segerombolan anak yang terus mencoba memojokkannya. Mereka bahkan mendorong-dorong Anya dan mencoba mengintimidasinya. Dengan cara seperti itu, itu bukan lagi meminta kejelasan, mereka sudah merudungnya. Anya bahkan tak berbuat apa-apa, dia hanya menatap gadis-gadis itu dengan tatapannya seakan tatapannya yang lembut bisa melawan mereka. Aku jadi tak punya pilihan lain.
"Tunggu tunggu," aku menarik lengan gadis yang berdiri paling depan dari Anya, membuat segerombolan itu terkejut "kamu bilang dia mencuri gelangmu?"
"Jangan ikut campur!" Bentak gadis itu.
"Aku tidak bisa, aku tidak tahan melihat kekejian. Dengar, kalian harus punya bukti sebelum menyudutkan seseorang seperti ini."
"Bukti? Lihatlah wajahnya yang pura-pura tidak bersalah itu! Aku butuh bukti apa lagi? Dan barangnya sudah hilang!"
"Jika tak punya bukti artinya kamu harus mengikhlaskannya, kan?"
"Maksudmu apa aku mengikhlaskannya? Kamu tahu berapa harganya?"
Aku menggosok telingaku karena rasanya ramai sekali. Astaga, anak-anak ini benar-benar menghabiskan energi hanya untuk mulut mereka, "kalau begitu kamu dapat pelajaran berharga, kan? Jangan membeli sesuatu jika kamu tak siap kehilangannya, lagipula aku yakin, jika tidak menghilangkan benda itu di kelas kamu akan menghilangkannya di tempat lain. Kamu hanya perlu kambing hitam untuk melakukannya."
"Sialan, kau!" Umpat gadis itu sebelum dia berbalik pergi diikuti dengan teman-temannya yang lain. Aku menatap kepergian mereka dengan satu napas berat. Saat aku kembali pada Anya, dia menatapku sekilas dan berbalik pergi. Aku mengejar langkahnya.
Anya menegakkan sepedanya dan hendak mengeluarkannya dari parkirannya.
"Sama-sama, aku senang bisa membantu," sindirku yang tidak dihiraukannya.
Anya sudah menaiki sepedanya dan hendak pergi meninggalkanku. Aku jadi lebih tak bisa mengerti sikapnya ini. Dengan terpaksa, aku menghadang setir sepedanya.
"Apa maumu?" Anya bertanya dengan ketus.
"Itu..." ini juga salah, aku tidak bisa beramah-tama dengan cara seperti ini, saat lawanku bahkan tak menginginkannya juga. Berkenalan? Tak mungkin aku mengajaknya berkenalan. Apalagi meminta penjelasan di mana dia pergi selama sebulan. Padahal kupikir aku bisa memperkenalkan namaku lebih dulu dan bertanya bagaimana ujiannya, dia pasti kesulitan karena sudah tidak masuk selama sebulan. Aku juga bisa menawarkan sesuatu seperti kelompok belajar yang bisa dia datangi misalnya, aku kenal beberapa anak rajin dari kelas IPA. Apa mengatakan semua itu sekarang adalah saat yang tepat?
"Tidak, tidak ada," aku pun menyingkir dari jalan sepedanya. Anya tanpa ragu langsung meninggalkanku. Aku menatapnya di kali terakhir. Perempuan sepertinya tidak mudah didekati, apa aku menyerah saja? Lagipula aku juga dibuat bingung sendiri, untungnya apa coba mengejar seorang sepertinya? Gadis kaku yang tak tahu beramah tamah dan bagaimana caranya berterima kasih. Ah! Sudahlah.
***