Introvert

rimachmed
Chapter #4

Kehebohan di Lapangan #4

Aku menjalani hariku seperti biasanya. Di sekolah pun tak ada yang begitu menarik perhatianku. Anak-anak di kelas masih bersenda gurau dengan cara yang sama, para guru juga mengajar dengan cara yang sama.

Banyak orang bilang kalau kelas sebelas adalah tingkatan yang paling sulit dijalani. Bab materi kami lebih banyak dan tugas juga lebih banyak lagi. Para guru selalu bilang kalau semua itu demi kebaikan ujian kami di kelas dua belas nanti. Wali kelas kami juga meminta agar kami mulai fokus memikirkan soal jurusan kuliah apa yang akan kami pilih sehingga kami bisa mengejarnya di kelas sebelas ini.

Aku berpikir untuk masuk jurusan hukum di UI. Selama ini, jurusan hukum di kampus itu paling sulit ditembus dari kampus yang lain. Hal ini juga karena peminatnya yang tidak kalah banyak. Walau aku tak mumpuni di beberapa bidang, tapi aku mendalami bidang IPS dan aku pandai dalam bahasa inggris, seharusnya itu bisa jadi nilai lebih. Bagaimanapun aku tak bisa sombong dulu, aku masih peringkat di tengah-tengah jika dibandingkan teman-temanku. Karena itu aku berpikir untuk mulai serius di kelas sebelas dan mengurangi main-main bersama anak-anak.

Kesibukanku yang lain lagi selain belajar adalah sepak bola. Olahraga ini juga merupakan hiburan dari kejenuhan belajar. Terkadang aku berlatih sepulang sekolah dengan anak-anak, terkadang kami cuman bermain santai di akhir minggu.

Sejak pertemuan terakhir dengan Anya di bengkel teman Surya, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi, bahkan melihatnya juga tidak pernah. Terang saja, dia bahkan jarang keluar kelas, jika bukan ke kamar mandi, dia mungkin ke perpustakaan. Tapi, aku bersyukur tidak bertemu dengannya. Aku bertaruh, situasinya bakal berubah canggung jika kami sampai berpapasan.

Rasa-rasanya aku seperti kualat pemikiranku sendiri. Aku juga tidak tahu kenapa harus memasuki toilet di samping ruang guru saat aku bisa memilih memasuki toilet di dekat kantin. Seorang guru memanggilku sesaat aku baru keluar dari toilet seakan dia baru saja mendapati dewa keberuntungan.

"Satria, kebetulan sekali. Bisa bantu ibu di dalam?" Aku jadi tak punya alasan lain untuk menolak selain mengikutinya.

Di sanalah aku menemui Anya, aku jadi lupa kalau Anya termasuk salah satu murid kesayangannya guru-guru. Dia sering dipanggil ke sana.

"Nah, Satria, tolong bantu Anya bagikan tugas ibu ke kelas-kelas ya."

Anya sudah berdiri di sana dan menumpuk ke dua tangannya di balik badannya. Dia memang selalu tampak sepenurut itu.

Ibu Rahmi mendorong buku-buku yang telah ia tumpuk di atas mejanya. Dia memberikan semua tumpukan buku itu sampai nyaris menutupi wajahku. "Sudah ibu samakan kelas-kelasnya, jadi tinggal dibagikan saja."

"Baik, bu," jawab kami bebarengan.

Anya keluar lebih dulu. Aku membiarkannya memimpin jalan dan menuju kelas pertama yang berada tidak jauh dari ruang guru. Anya mengambil satu tumpuk buku pertama. Selagi dia memanggil seseorang dari dalam dan memberikan buku-buku itu, aku tak bisa menahan diriku untuk tidak memperhatikannya.

Aku jadi memikirkan yang terjadi hari itu. Aku jadi merasa bersalah karena harus menilainya seperti yang aku mau. Itu tidak adil, kan? Aku bahkan tidak bisa memaksa diriku menjadi versi terbaik yang diinginkan semua orang. Hanya karena Anya dekat dengan seorang laki-laki yang lebih tua dan dia menerima rokok itu, aku mulai berpikir tidak-tidak soalnya.

Lihat selengkapnya