Surya tak sekali meminta, dia menelepon dari pagi agar aku membawakan barangnya yang ketinggalan ke bengkel. Padahal sekarang hari minggu. Dia bahkan tidak serajin itu bekerja.
Selepas mandi, aku mengganti pakaianku dengan kaus putih dan celana kargo pendek. Sesekali menatap ke dalam cermin dan satu pertanyaan muncul di kepalaku dengan cepat ' bagaimana jika aku bertemu Anya di sana?' Terakhir kali melihatnya di bengkel, aku tidak datang lagi ke bengkel. Alasannya ya karena memang tidak ada urusan, aku juga tak mau mengada-adakan urusan seakan aku ingin bertemu Anya di sana. Aku jadi menghembuskan napas berat lagi. Apa sih yang kepalaku pikirkan? Anya juga tidak mungkin mengada-adakan urusan untuk kembali ke bengkel itu lagi, terlebih terakhir kali ke sana di bertemu denganku.
Setelah memasuki kamar Surya dan mengambil barangnya, Surya juga mengizinkanku memakai motor yang ia tinggalkan di rumah, Motor scrambler yang tampak seperti tahun 70-an ini entah dia beli dari siapa. Aku akui Surya berhasil memodifikasinya sehingga tampak luar biasa keren.
Saat aku sampai ke bengkel aku melihat Surya sedang jongkok di depan sebuah motor yang ia garap. Ada tiga laki-laki lain lagi di sana dan salah satunya adalah Randi. Saat aku turun dari motor dan menghampiri Surya, refleks kepalaku juga celingukan.
"Cari siapa?" Fadli menepuk bahuku, dia muncul tiba-tiba dari balik badanku mengagetkanku.
"Tidak, tidak ada," jawabku cepat. Surya menerima keresek yang aku bawa dan menatapku dengan kernyitan di keningnya.
"Motormu sudah selesai. Kamu bisa meninggalkan motorku di sini dan membawa motormu," katanya. Aku hanya mengangguk-anggukan kepala mengerti.
"Ini hari libur, sejak kapan kamu jadi gila kerja?" aku mendengus padanya, menjejalkan tanganku ke dalam saku sembari memperhatikannya bekerja.
Surya tampak menghembuskan napas berat kemudian. Dia masih berjongkok tapi kali ini sambil meratapi keadaannya, "ya, sial memang. Dia tidak mau rugi sepersen pun," katanya sambil menunjuk ke arah Randi, "dia terus merecoki kapan motornya selesai seakan kami tak punya kerjaan lain selain mengurusi urusannya. Belum lagi, dia menawar harga mati-matian," Surya tiba-tiba membanting serbet yang tergantung di lehernya, seakan diserang kesal mendadak membuatku tertawa melihat sikapnya itu. Surya menatapku dengan tatapan tidak terima, "jika bukan karena pekerjaan, aku juga enggan berhubungan dengannya."
"Kenapa juga kamu bekerja dengannya sejak awal?"
"Sudah terlanjur kugarap, mau bagaimana lagi? Ah, menyebalkan," dia pun kembali bekerja, aku hanya berdecak melihat sikapnya itu. "Jangan pulang dulu," Surya menghentikanku saat aku hendak meninggalkannya, "tunggulah di sini, kami pesan makanan untuk makan siang," katanya.
Aku mengangguk, "baiklah." Surya masih mengotak-atik motor Randi. Dia mengenakan baju perbengkelannya lengkap dengan tampang serius. Ke dua temannya bahkan sedang berbincang-bincang di bangku. Randi ada di antara mereka sambil menyimak obrolan. Aku pun menghampiri mereka, tampaknya hari ini Anya tidak datang bersamanya. Aku meraup mulutku sendiri karena tak bisa mengatakan maksudku selain menyimak obrolan mereka soal orang yang bahkan tak kukenal.
"Ah, ngomong-ngomong," Randi berbicara padaku lebih dulu, "kamu melihat Anya di sekolah?"
"Hm?"
"Ya, kuharap dia masuk sekolah," Randi menggaruk tengkuknya.
"Ada alasan sehingga dia tak masuk sekolah?" Tanyaku. Randi menatapku cukup lama seakan dia menyadari betapa bodoh pertanyaannya barusan.