Anya duduk di belakangku. Dia memegang kemeja sekolahku. Kakinya terkadang mengenai tubuhku. Sesekali aku mengintipnya dari kaca spion. Dia benar-benar tampak seperti seorang yang tak pernah naik motor sebelumnya. Bagaimana cara dia memiringkan kepalanya, sesekali memejamkan mata dan merasakan angin mengenai wajahnya dengan tampang datarnya itu. Angin juga menerbangkan poni rambutnya. Dia cantik dan aku pasti sudah gila karena harus menerjemahkan semua hal aneh yang sedang dia lakukan tepat di belakangku.
Aku berpura-pura bodoh dengan terus menanyai di mana arah rumahnya, apa aku harus berbelok sekarang atau tetap lurus ke depan. Lima belas menit kemudian kami sudah di depan rumahnya, memasuki pekarangan rumahnya yang tidak ramai. Anya mengizinkanku memarkirkan motor di dalam, dia turun dulu dan membukakan pagarnya.
Bukannya tidak pernah datang ke rumah cewek. Ini kesekian kalinya, bedanya… aku bahkan tak berani mengatakan bedanya. Jelas-jelas berbeda. Ini Anya. Cewek paling diam se-sekolah. Bukan diam yang pendiam, tetapi lebih ke diam yang aneh, cenderung menakutkan. Tampangnya selalu dipasang dengan tulisan ‘jangan ganggu aku’ bahkan sebelum seorang itu berdiri dekat dengannya. Dan dia seorang diri, jika dulu aku datang beramai-ramai dengan alasan belajar kelompok, kami hanya akan berdua di dalam rumahnya tanpa seorang pun mengawasi.
“Tidak masuk?” Anya berbalik menoleh padaku dan melihatku masih di samping motor dan tidak melangkah sedikit pun. Aku pun mengekor di belakangnya.
Orang tuanya sudah pasti orang yang berkecukupan. Mereka bahkan membiarkan anak mereka memiliki rumah sendiri alih-alih ikut salah satu dari mereka. Dan rumah ini bukan rumah kecil dan jelek. Rumah ini cukup mewah.
Anya masuk ke dalam dan dia bahkan tak mempersilahkanku duduk. Aku duduk di sofa di ruang depan sambil terus memperhatikan rumah itu tanpa benar-benar memutar kepalaku.
Aku menunggu selama dua puluh menit tanpa suara. Kupikir dia masuk untuk mengambil minum atau apa, tapi sampai saat itu dia belum kembali. Aku mengeluarkan ponselku dan mulai mengutak-atiknya, mencari entah apa di twitter. Akhir-akhir ini orang jadi pandai melucu di mana-mana, tapi tak satupun benar-benar membuatku tertawa.
Saat aku mendengar langkah seseorang, aku menoleh dan menemukan Anya yang sudah mengganti pakaiannya dengan lebih santai. Dia membawa setumpuk buku di pelukannya, aku menghampirinya dan mengambil buku itu kemudian meletakannya di atas meja. Melihat tumpukan buku itu benar-benar membuat mataku ingin keluar dari tempatnya. Aku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal.
“Biar kuberitahu sesuatu,” kami saling menatap, “aku tak berniat mengikuti lomba ini dan tidak akan pernah mau melakukannya.”
“Kamu menerimanya dari Bu Rahmi.”
“Kamu yang menawarkan namaku padanya.”
“Kamu bisa menolaknya jika tidak mau,” sekali lagi, sikap masa bodonya itu benar-benar membuatku gemas. Aku jadi bertanya-tanya apa memang sifat aslinya atau dia memang ingin membuatku kesal. Anya duduk di sofa lebih dulu dan mengambil satu buku lalu membukanya. Percuma saja jika sudah begini.
“Aku sudah memperingatkanmu,” kataku sebelum duduk tak jauh darinya.
Dan dari sanalah semua keseriusan itu terjadi. Anya mulai membaca buku demi buku dan mengetik di laptopnya. Dia tampak serius. Aku juga tidak meragukan kalau dia anak yang rajin. Setiap orang bisa langsung tahu kalau dia pandai. Aku bahkan tak tahu apa fungsiku di sini, aku hanya melihatnya bekerja. Sejujurnya Anya mungkin tidak butuh seorang rekan untuk mengerjakan ini bersamanya, dia lebih senang kerja sendiri. Seharusnya aku sadar kenapa dia memilihku yang bahkan tidak punya ambisi apa-apa di sini. Aku bahkan tak repot-repot melengkapi kompetensi siswaku dengan prestasi akademis. Itu melelahkan sekaligus tak ada gunanya. Aku lebih senang bergabung kepanitian, olahraga, atau ekstrakulikuler. Itu lebih membuatku segar.
“Kamu suka membaca?” aku mencoba memecah keheningan itu yang kupikir juga tidak akan berhasil. Anya tetap mengabaikanku dan serius bekerja. “Kamu bisa bilang ke Bu Rahmi kalau kamu lebih suka kerja sendirian, tak perlu melibatkanku dan mangada-ngada bahwa IPA dan IPS bisa bersatu. Pekerjaan ini hanya untuk anak IPA, kita anak IPS lebih senang bergaul di luar,” Anya berhenti menulis dan menatapku.
“Kamu mau perkataanmu barusan sampai ke semua anak IPA supaya mereka bisa menggempurmu?” aku mengangkat alis-alisku dan bertanya ‘hah?’ tanpa suara. “anak IPA bahkan jauh lebih bisa diandalkan dalam banyak hal, sedangkan kalian hanya senang main-main.”
“Kamu mau perkataanmu barusan sampai ke semua anak IPS supaya mereka bisa menggempurmu?” aku mengulangi ucapannya. Anya kemudian diam dan hanya menatapku, itu adalah jeda yang lama yang ia tinggalkan di sana dan aku harus menatapnya secara langsung dari jarak itu. Sialan dengan semua isi kepalaku.
“Kamu suka padaku?” tanyanya tiba-tiba.
“Apa?” aku tak bisa tidak melotot.
“Kamu bertanya pada Randi soal aku. Kamu mendekati Sania untuk tahu apa aku terlibat atau tidak. Kamu juga melihat-lihat instagramku. Hanya ada dua alasan kenapa orang jadi tertarik untuk tahu soal sesuatu, dia menyukainya atau tidak menyukainya.”
Aku benar-benar tak bisa berkata-kata sekarang.
“Apa hanya itu yang ada di kepalamu saat seorang mulai mendekatimu?” kali ini dia yang diam. Aku dari awal sudah bisa menebak bahwa orang se-pendiam dirinya begitu was was pada orang di sekitarnya. Di luar sana ada banyak orang yang seperti ini. Mereka adalah orang-orang yang selalu berpikir bahwa orang-orang yang mendekatinya mencoba mengambil manfaat atau sesuatu darinya. Itulah kenapa mereka tak suka orang, tapi aku jadi kepikiran kenapa dia bisa dekat dengan Randi. Katakanlah bahwa aku sudah mendiskriminasi, tapi Randi bukan seorang yang bisa diajak berteman. Surya bahkan bilang bahwa sikapnya terkadang terlalu sok dan menyebalkan. Jika bukan karena pekerjaan, mereka tidak mungkin saling berhubungan. Sedangkan Anya, jika hanya karena orang tua mereka, dia tak perlu mengikuti Randi hingga ke bengkel atau megikuti gaya hidup laki-laki itu dengan merokok. Dia pasti punya alasan tertentu, kan?
“Aku ambilkan minum,” Anya bangkit lebih dulu dan pergi ke belakang. Well, aku juga senang berhasil membuatnya tidak nyaman dan salah tingkah seperti itu di depanku, membuatku tersenyum.