Itu pukul enam di pagi hari. Kebiasaan di rumahku adalah ayah duduk di meja makan menikmati kopi susu buatan ibu. Adik perempuanku, Naura sudah berpakaian sekolah lengkap, tengah menghabiskan roti bakar dengan telur, daging kornet dan mayonaise. Aku juga menikmati sarapanku, hanya roti bakar dan selai kacang. Ibu masih sibuk di dapur, kebiasaannya setelah membuat sarapan adalah membersihkan dapur sebelum kemudian bergabung dengan kami di meja makan. Anggota keluarga lengkap kecuali Surya, Surya tak pernah mengambil jadwal kelas pagi karena dia selalu malas mandi pagi. Jika bukan karena satu dua hal, dia pasti sudah lanjut tidur.
“Bagaimana sekolahmu?” tanya ayah padaku, pertanyaan yang sesekali ia tanyakan, entah memang penasaran atau karena tidak ada pertanyaan lain.
“Baik.”
“Baik atau yang bagaimana? Tidak mau cerita?”
“Ya, begitu begitu saja.”
“Tidak ada yang bisa dibanggakan?” Aku diam kemudian. Ibu dari belakang menyusul dan menyahut.
“Jika tidak ada kabar dari sekolah, itu artinya sudah bagus, yah,” katanya, “ibu senang kamu tidak seperti jaman SMP, terpegaruh teman-temanmu yang nakal-nakal.” Aku bahkan bukan nakal, hanya kabur di beberapa mata pelajaran dan menggoda beberapa guru, lagipula semua murid juga melakukannya. “Ya, ibu senang kamu bisa mulai fokus belajar sekarang. Keluarga kita ini butuh ahli hukum, Sat. itu kan cita-citamu?” Aku tidak berminat membalas ucapan mereka, obrolan ini sudah terlalu sering kita lakukan.
“Jadi ingat jaman saat kamu SD dulu, ibu nggak nyangka kalau kamu punya bakat seperti itu sampai dewan pendidikan memberimu piala penghargaan anak pemberani,” dan dia mulai lagi. Aku bukannya tak suka kembali ke masa lalu, hanya saja jika diulang-ulang, membuatku penat.
“Oh iya,” ayah mulai menambahkan, jika sudah begini aku hanya bisa menghembuskan napas berat, “waktu itu salah satu gurumu itu, orang mesum. Dia memanfaatkan beberapa temanmu. Ayah nggak bakal lupa sampai kapanpun. Waktu itu kamu pulang sekolah dan bilang kalau gurumu menelanjangi salah satu temanmu. Anak itu sampai tidak masuk sekolah, kan? kamu bahkan datang ke kantor polisi sendirian dan bilang kalau temanmu sudah dilecehkan gurumu sendiri.”
“Ya… aku tidak bilang begitu sih, intinya…” aku berpikir keras, rasanya juga tidak ada gunanya membenarkan cerita ayah yang dari tahun ke tahun berkembang seenaknya.
Mama masih saja tersenyum. Dia kembali melihat-lihat pigora yang dia pasang di tembok lima tahun yang lalu. Aku ada di sana memegang piala penghargaan anak pemberani dari kepala pemeritahan yang berdiri tepat di sampingku sedang tangan kami bersalaman. Kemudian di pigora yang lain tampak potongan koran yang memberitakan kejadian tersebut.
Aku bahkan tidak sebgitu ingat apa yang aku rasakan waktu itu. Aku tak begitu yakin aku menyelamatkan seseorang seperti yang disebut-sebut oleh semua orang. Aku hanya menuruti instingku bahwa sesuatu yang tidak benar tengah terjadi. Aku tidak tahan melihat sesuatu yang tidak benar terjadi di depanku, itu selalu membuatku kehabisan kesabaran. Lebih lagi, semua orang berlaku seperti tak ada yang terjadi dan guru itu dengan keramahan yang ia buat-buat selalu berubah menjadi orang jahat setiap aku hendak tidur. Keesokan harinya, aku tidak berangkat sekolah dan pergi ke kantor polisi untuk melaporkanya.
Saat SMP, aku berkumpul dengan anak-anak yang memang tidak rajin di sekolah. Mereka rajin bermain, melakukan semua permainan yang bisa dilakukan remaja umur segitu, termasuk tidak pulang ke rumah, tapi malah ke warnet. Ibu selalu menyebutku pembuat ulah setelahnya, padahal dia juga sadar aku tak bisa seserius itu di sekolah seperti Naura.
“Ngomog-ngomong, apa kamu sedang dekat dengan seorang perempuan?” ayah tiba-tiba bertanya. Ibu maupun Naura lagsung menoleh padaku juga. “Perempuan dari sekolahmu? Apa kamu tidak dekat dengan siapapun? Ayah dengar, usia se-kamu ini lagi rajin-rajinnya cari pacar.”
Aku tidak menjawab. Ibu tampak menahan seringaiannya sendiri yang dibuat-buat.
“Tidak mungkin, kan, Sat, tidak ada yang mendekatimu. Sama sekali?”
“Ada kok,” aku keceplosan juga, padahal aku benci digoda.
“Benarkah?” tanya Naura, tak percaya.
“Dia… anak IPA.”
“Apa dia pintar?”
“Iya, lima besar.” Aku tak tahu apa yang sedang aku katakan ini.
“Wah,” mereka semua refleks terkagum entah kenapa. “apa cantik?” tanya ayah.
“Sangat cantik.” Dan hening kemudian, entah meghayatinya atau meragukannya. Pada akhirnya ayah dan ibu memilih menganggu-anggukan kepalanya sedangkan Naura melengoskan kepalanya, mengganggap apa yang kukatakan barusan adalah kebohongan.
“Kenalkan pada ayah kapan-kapan, ya,” ayah bangkit dari duduknya dan hendak pergi. Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku tanpa perlu menyeriusi ucapayannya.
Di sekolah, Radit tanpa hentinya bertanya soal Anya dan apa yang sedang aku lakukan bersamanya.
“Serius, Sat. Ini, Anya!” dan dia masih saja tidak percaya atas apa yang terjadi. Aku juga tidak mau orang-orang tahu apa yang terjadi antara aku dan Anya, aku tak suka menjadi pusat perhatian. Itu membuatku jengah. Tapi, yang aku tidak perhatikan adalah bahwa Radit bermulut besar. Saat satu orang mulai bertanya “ada apa, ada apa” dia pasti langsung menjelaskan semuanya tanpa titik koma.
“Sudah aku bilang juga dari kemarin, nggak ada apa-apa,” aku kembali menjelaskan. “aku hanya membantunya mengerjakan tugas Bu Rahmi untuk perlombaan karya tulis nasional. Bu Rahmi bilang bahasa inggrisku bagus. Itu saja.”
Radit mulai mengernyitkan keningnya, “bahkan Hari lebih bagus bahasa inggrisnya dibanding kamu,” dia mulai menodongku lagi, “sejak kapan anak IPA mau kerjasama dengan anak IPS?”
“Tanyakan saja pada Bu Rahmi. Aku juga heran kenapa dia memilihku.”
Radit masih berlagak seperti detektif dan itu benar-benar membuatku muak. Aku terus menatapnya tak suka, tapi dia tidak peka juga.
“Jadi tidak ada hubungan lain selain mengerjakan karya tulis untuk perlombaan?” aku mengangguk-anggukan kepalaku. Dia menghembuskan napasnya dan berpaling, sekali lagi kudengar dia bergumam, “syukurlah,” yang membuatku hendak naik pitam. Ada masalah apa sih dengannya? Dia mengkhawatirkanku atau mengkhawatirkan Anya?
Saat jam istirahat, anak-anak mulai mengajak main bola di lapangan. Biasanya beberapa anak laki-laki memang melakukan pertandingan secara tiba-tiba dan biasanya juga ada taruhannya.
“Dengan kelas berapa?” tanyaku pada Radit.
“IPA-2.” aku menatapnya, mengira dia bercanda. Itu kelasnya Anya, itu artinya anak perempuan dari kelas itu juga akan berdiri di pinggir lapangan dan memberi sorakan. “Gendhis, IPA-2, dia bilang bakal menerima Bastian jadi pacar kalau kelas kita menang,” lanjut Radit.
“Kalau suka ya pacaran saja, kenapa mesti taruhan?”
“Ah, tidak seru kalau seperti itu. Mereka memang sudah saling suka dari kelas sepuluh, tapi jual mahal banget si cewek. Bagaimana, ikut tanding, nggak?” sebenarnya malas juga kalau taruhannya itu, biasanya anak-anak lebih suka ditraktir atau pihak yang kalah harus membersihkan sekolah dan mau disuruh-suruh.
“Ya, sudahlah.”
“Asyik,” Radit ber-yes ria. Dia berlalu dan nimbrung dengan anak yang lain sambil membicarakan soal formasi. Biasanya karena cukup diandalkan, aku diletakan di sayap kanan. Jika diingat-ingat dari jaman kelas sepuluh, Anya tidak pernah kelihatan jika ada pertandingan di lapangan. Dia selalu sibuk di kelas, di perpustakaan, atau ruang guru. Aku bertanya-tanya apa dia bakal muncul jam istirahat ini atau tidak.
Saat berkumpul di lapangan, beberapa anak mengganti seragam sekolahnya dengan memakai kaus. Aku melepas seragamku menyisakan kaos dalaman hitam yang biasa aku pakai. Karena Bastian yang menyarankan pertandingan, dia berdiri sebagai gelandang tengah. Aku bisa melihat beberapa anak dari IPA-2 berdiri di pinggir lapangan, tapi aku tidak menemukan Anya di sana.
Saat permainan akhirnya dimulai, itu sudah cukup bagus dari pihak kami. Bastian jadi begitu bertekad memenangkan pertandingannya. Kami berhasil meloloskan dua gol dan satu gol dari lawan. Di tengah permainan itu, aku melihat Anya di koridor di depan kelas sedang menonton ke lapangan. Tatapan kami bertemu dan aku melihatnya tersenyum. Tersenyum! Dia bahkan tidak pernah tersenyum. Dia selalu memasang wajah datar ke mana-mana. Seseorang terus memanggil namaku, aku pikir aku bakal dapat operan bola tapi yang ada aku malah ditabrak. Kami terjatuh dengan badanku ada di bawah dan lututnya mengenai dadaku sedang badannya menutupi kepalaku. Jatuh yang benar-benar tidak menguntungkanku. Rasanya sakit sekali.