Soal Randi, aku bertanya pada Surya detail apa yang terjadi. Surya menceritakan padaku fakultas tempat Randi belajar mengadakan suatu event dengan Randi menjadi bagian kepanitiaan dalam pengurusan keuangan. Uang yang seharusnya cair hari itu, macet dan Randi terlibat dalam kemacetannya. Dia bilang akan segera membereskannya, sampai event kurang dari sebulan uang itu tidak juga cair padahal datanya menunjukkan bahwa sponsor telah memasukan uangnya. Randi mengambil uangnya adalah kecurigaan yang dibuat semua orang tanpa berani mengatakannya, tentu saja dengan anggapan Randi 'bukan orang seperti itu' hingga seorang mengirimkan pesan kepada ketua panitia event.
Isi pesan itu berupa gambar chat Randi dengan si pengirim pesan. Di chat itu Randi mengatakan bahwa ia membeli motor dengan uang yang dihadiahkan kampus padanya, padahal kampus tak pernah menghadiahkan apapun. Sedangkan jumlah uang tersebut adalah sejumlah uang yang tidak cair. Pesan itu akhirnya sampai ke komite kampus dan Randi pun harus diadili. Akhirnya semua orang mulai menyebutnya pembohong sekaligus pencuri.
Setelahnya, Randi tidak masuk ke kampus. Orang tuanya sempat mendatangi kampus dan mengatakan bahwa mereka juga merasa malu. Satu-satunya yang aneh hanya respon Anya. Hari itu, kami janjian lagi akan bertemu untuk mengerjakan karta tulis perlombaan. Kali ini dia mengajak bertemu di salah satu kafe yang lumayan jauh dari sekolah. Saat berhubungan denganku, dia tampak tidak ingin semua orang mengetahuinya. Kami langsung bertemu di kafe hari itu. Pertama kali melihatnya aku bahkan tidak melihat laptop atau buku yang seharusnya dia gunakan. Dia sudah memesan segelas minuman berwarna hijau dengan cream kocok yang banyak di atasnya. Aku tak ingin berkesimpulan dulu sehingga setelah melihatnya, aku duduk di hadapannya.
"Pesanlah sesuatu," katanya.
"Tidak pa pa," aku menolak.
Anya mulai menghayati meminum minumannya. Dia mengerdikan bahunya padaku dan setelahnya memilih untuk diam.
"Bagaimana dengan karya tulisnya?" tanyaku.
"Kita akan mengerjakannya nanti," dia tersenyum tipis dan kembali minum. Dia juga mengaduk-aduk creamnya dengan sedotan sebelum memasukannya ke dalam mulut.
"Kamu dengar kabar soal Randi? Kudengar dia terlibat masalah di kampus." Anya menatapku dan memilih tak menjawab. "Padahal dari tampangnya dia bukan seorang yang bisa membuat masalah seperti itu."
"Karena itu kita tidak bisa menilai hanya dari tampangnya," jawab Anya.
"Benar," aku mengangguk, "apa kamu tahu apa yang sudah dia lakukan?"
"Apa aku harus tahu soal itu?"
"Kalian cukup dekat," Anya menatapku lekat tanpa kedip, kali ini dia pasti penasaran dengan apa yang ingin aku katakan selanjutnya "Randi bilang ibu kalian cukup dekat. Ibumu memintanya untuk menjagamu."
"Kamu mau bertemu ibuku?" kali ini Anya bertanya sambil tersenyum lebar.
Aku memutuskan untuk mengabaikannya karena tampaknya dia cuman bercanda, "bagaimana mungkin ada seorang yang tega melakukannya? Mengirimkan pesan itu pada ketua panitia event dan mengatakan bahwa dia telah mencurinya."
"Well, dia pantas mendapatkannya, lagipula itu fakta."
"Tapi itu akan mempermalukannya selamanya. Bagaimana jika dia sampai berhenti kuliah?"
"Setiap kejahatan memiliki konsekuensi. Kamu sebagai seorang yang tertarik pada hukum sudah pasti mengerti soal itu."
"Bagaimana kamu tahu aku tertarik pada hukum?"
Anya diam sejenak, entah terkejut atau bahkan dia tak sempat memikirkannya jawabannya. "Kamu pernah membahasnya denganku, hukuman apa yang pantas untuk para pembully."
Aku diam karena bahkan tak menyangka dia bakal menjawabnya dengan gampang. "Menurutmu, seorang pencuri juga pantas dipermalukan?" Aku bertanya, benar-benar penasaran dengan isi kepalanya.
"Memasukannya ke dalam penjara mungkin akan lebih menyusahkannya, itu lebih mempermalukannya. Selain itu negara juga tidak menerapkan pemotongan tangan."
Aku menatapnya tak percaya, napasku bahkan terasa berat saat kuhembuskan. "Bagaimana mungkin kamu bisa bicara begitu? Dia seorang yang kamu kenal, kalian bahkan cukup dekat. Bagaimana mungkin kamu bisa dengan mudaah mengatakan hukuman yang pantas untuknya?"
Anya menatapku lekat tanpa kedip, wajahnya benar-benar datar. "Aku berbicara secara rasional, apakah seorang ahli hukum harus menggunakan perasaan saat menghukum seseorang?"
"Apa?"
"Dan dia seharusnya bersikap sesuai kemampuannya, membeli sesuatu bukan dari uang miliknya kemudian memamerkannya. Bukankah itu tidak benar?"
Benar, Aku tahu apa yang Randi lakukan memang salah. Tidak akan ada yang membenarkan sikapnya itu. Bahkan orang-orang di jurusannya bakal membicarakan sikapnya itu di belakang Randi. Mereka tidak mungkin tidak menyadari jika ada sesuatu yang terjadi terkait uang itu. Tapi teman-temannya berusaha meredamnya. Karena apa? Karena mereka teman. Mereka berada di satu kampus yang sama dan menutut ilmu bersama. Mereka tak ingin menghancurkan masa depan teman mereka dengan mencoreng namanya. Mereka pasti memilih untuk membicarakannya baik-baik, alih-alih menyampaikan kabar itu ke komite kampus yang pasti membuat seluruh kampus jadi mengetahuinya.
"Apa kamu berpikir aku yang mengirim pesan itu?" Tanya Anya tiba-tiba. Aku memang memikirkannya, terlebih dari cara dia menjawab semua pertanyaanku barusan semakin menambah keyakinanku soal itu. Aku tidak tahu masalah apa yang terjadi antara mereka berdua. Yang aku tahu, Anya memang mencoba menghindari Randi akhir-akhir ini, tapi dia kemudian tampak seperti mengejar Randi di bioskop. Kemudian Randi dilaporkan ke komite kampus. Semua itu terjadi secara beruntun yang semakin membuat semuanya mencurigakan. Kenyataan yang lain Anya mungkin tahu banyak soal Randi termasuk asal-usul dari mana motornya ada. Randi pasti menceritakan semuanya pada Anya.
"Hari itu, saat aku di rumahmu untuk mengerjakan karya tulis. Apa yang terjadi pada kalian?"
Anya tertawa kecil, "Jadi maksudmu malam itu sesuatu terjadi, seperti... kami bertengkar, kemudian keesokannya aku mengejarnya ke bioskop dan melihat dia bersama seorang perempuan. Aku cemburu pada perempuan itu, lalu aku mempermalukannya. Seperti itu?" Katanya.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, seketika merasa frustasi.