Aku sedang santai di rumah saat menerima pesan dari Anya.
'Datanglah lebih awal sore ini, jika kamu bisa'
Itu pukul dua siang dan aku masih mengenakan seragam sekolah. Duduk-duduk di sofa setidaknya menunggu sampai mama menjerit menyuruhku segera mandi dan ganti baju. Dia paling anti mencium bau matahari dari tubuhku yang bisa dia cium dari jarak terjauh di ruang tengah sekalipun.
Setelah menerima pesan dari Anya. Aku langsung bangkit dari dudukku dan masuk ke dalam kamar mandi. Setelahnya aku bersiap untuk mengganti pakaian. Jika maksudnya sore, itu artinya di atas jam tiga, kan? Rasanya juga tidak masalah kalau aku datang lebih awal. Kita mungkin bisa mengobrol soal hal-hal tidak penting di luar karya tulis.
Aku mengganti pakaianku dengan kaus putih dan celena jins. Lagi-lagi menatap ke dalam cermin dan memastikan ekspresi wajahku di sana. Apa aku harus memasang wajah datar, atau sedikit tersenyum, atau aku perlu memasang wajah memesona? Aku menyisir rambut yang sedikit basah dan membiarkan poninya jatuh ke depan. Baiklah, mari habiskan waktu dengan Anya dengan hal-hal yang bermanfaat seperti membicarakan diri kita dibanding harus membahas hal lain.
Aku mengendarai motorku ke rumahnya. Jika dirasa, aku bahkan tak begitu khawatir bertemu dengan tetangganya lagi. Biarlah mereka berpikir aku pacarnya atau siapa, lagipula aku juga merasa punya kesempatan untuk itu.
Saat aku sampai di depan rumahnya, aku melihat motor yang lain juga terparkir di sana. Itu mengingatkanku pada motornya Randi. Apa dia juga ada di dalam? Saat aku turun dan melepas helm, hendak memasuki pekarangan rumah Anya yang lumayan besar, aku melihat Randi di depan rumahnya sedang menggedor-gedor pintunya beberapa kali.
"Anya! Aku tahu kamu sudah di dalam. Buka pintunya!" dan dia menggedor lagi. Aku melihat sepeda Anya yang biasa ia pakai untuk berangkat sekolah, tergeletak di garasi depan rumahnya. Jika melihatnya dan pintunya yang tertutup rapat untuk Randi, sudah pasti Anya ada di dalam.
Randi tampak tak menyadariku saat aku membuka pagar rumah itu dan masuk, mendekatinya. Dia masih saja berteriak seperti itu dan bisa saja mengganggu ketenangan tetangga di sana.
"Randi," aku memanggil, menyadarkannya bahwa aku di sana. Dia tampak, lagi-lagi, terkejut melihatku.
"Satria."
"Kenapa kamu menggedor pintunya seperti itu?"
Randi menggelengkan kepalanya, "kumohon jangan ikut campur, aku harus menyelesaikannya dengan Anya."
"Apa ini soal masalah di kampusmu?" mendengarnya Randi terdiam dan hanya menatapku.
"Kamu juga tahu masalahnya?" dan dia benar-benar tampak frustasi. Aku tak menjawabnya dan dia tertawa sinis sendiri, "dia juga memberitahumu, berapa banyak orang yang mendengar omong kosongnya itu?" dan dia berteriak lagi, persis seperti orang kalap. Randi bahkan menendang pajangan di depan rumah Anya dan membuat suara yang nyaring sekali lagi. "Dia..." Randi menunjuk ke dalam, pada keberadaan Anya di dalam, "dia bilang aku mencuri uang, itu tidak benar. Semua isi pesan itu, dia menghapus beberapa isinya dan membuat sebuah cerita versinya sendiri. Kami sedang membicaraka acara bazar yang diadakan kampus, aku bilang itu adalah hadiah dari kampus karena membuat semua orang bekerja keras. Aku bahkan tidak bilang mengambil uang fakultas dan mengatakan bahwa itu hadiah dari kampus. Uang sialan itu, aku tidak mendatanya dan itu kecerobohanku, aku memang sedang berusaha menemukannya karena mungkin terselip dengan data yang lain. Jumlahnya memang besar dan aku melakukan kesalahan, tapi uang itu tidak hilang sedangkan motor itu," kali ini dia menunjuk motornya dengan penekanan, "itu bukan dari uang curian. Pamanku yang mencicil biaya motornya untukku. Aku menceritakan semua pada Anya karena aku ingin menganggap bahwa hubungan kami memang sedekat itu."
"Lalu, kenapa dia melakukan itu padamu?"
"Kenapa?" dia berteriak dan marah lagi, "aku juga ingin menanyakannya padanya, kenapa dia melakukan sesuatu seperti ini padaku?!" Randi menjambak rambutnya sendiri, dia berputar dan menendang pintu rumah Anya lagi.
"Kamu harus menahan dirimu, tetangga bisa saja memanggil polisi."
Randi menarik bajuku seperti hendak memukulku, "jika kamu jadi aku, kamu bisa tenang?" dia mendesis di wajahku. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapinya, kucekal lengannya agar dia bisa lebih terkendali.
Hingga pintu akhinya dibuka. Kami menoleh melihat pintu itu berderit. Kami melihat Anya di sana, membuka pintunya, lagi-lagi dengan tampang tak bersalah. Randi refleks melepasku dan hendak menyerbu ke arah Anya. Dengan kekuatan yang dia punya sekarang bercampur emosi, bisa saja melukai Anya. Aku menarik lengannya untuk menghentikan aksinya selanjutnya.
"Lepas, jangan ikut campur," ucap Randi.