Introvert

rimachmed
Chapter #11

Yang Dibicarakan Semua Orang #11

Ada yang bilang kalau rasa suka itu jangan berlebihan, suka pada apapun, karena berlebihan itu pasti tidak baik dan berakhir tidak baik pula. Aku jadi mengingat perkataan Naura beberapa hari yang lalu. Aku bertanya-tanya bagaimana akhirnya seorang bisa disebut bucin. Apa yang bisa membuat cinta jadi sedemikan hebat. Awalnya aku berpikir bahwa orang-orang itu pasti hanya takut. Mereka takut tak mendapat kenangan sebaik kenangan saat dia dan pasangannya bersama. Dia takut kalau saja saat-saat itu adalah saat yang terbaik.

Saat pelajaran mengarang bahasa indonesia hari itu, aku membuat karangan sesuatu yang tidak bisa kujelaskan kenapa. Yang jelas satu kelas sudah salah paham dan mengira aku jatuh cinta. Padahal isi karangannya benar-benar bodoh. Aku membuatnya sesaat setelah pulang dari rumah Anya. Jika diingat-ingat soal semalam, bagaimana Anya mengantarku sampai ke depan pagarnya. Bisa dipastikan dia menahan senyumannya sendiri. Itu sudah malam dan rasanya juga tak pantas berlama-lama di sana. Tetangganya bisa saja berpikir tidak-tidak. Aku menolak tawarannya, melihat-lihat rumahnya.

"Setelah mengirimkan filenya, kita bisa langsung mendaftarkannnya ke perlombaan. Setelah itu kita tunggu hasilnya, apa berhasil menang atau tidak," Anya mengatakannya sebelum aku menjalankan motor.

"Kudengar dari Bu Rahmi, ada seminarnya juga."

"Benar, akhir minggu ini di convention hall hotel, nanti aku share lagi infonya." Setelah itu aku menjalankan motor. Anya masih memperhatianku, aku bisa melihatnya dari kaca spion.

Soal menulis karangan, aku yakin tidak ada satu pun orang yang akan melakukannya dengan serius. Seorang bahkan bercerita soal seekor katak yang akhirnya menikahi seekor burung yang sudah punya anak, itu bahkan jauh lebih absurd dibanding apapun.

Saat akhirnya namaku dipanggil ke depan secara acak, aku tak punya pilihan lain selain membacakan karanganku ini. Rasanya aneh, terlebih aku yang paham dari mana semua karangan ini berasal. Aku bisa saja mengambil dari internet dan memodifikasinya, semua anak pasti melakukannya. Hanya saja pikiranku semalam benar-benar menjelma orang gila.

"Ada hari saat langit begitu terang. Ada juga hari saat langit begitu gelap. Ada banyak hal yang terjadi dalam waktu satu bulan kita bersama. Bukannya aku sok puitis dan bukannya aku tak pernah berada di sana, hanya saja aku tak pernah bertemu seorang sepertimu sebelumnya. Itu selalu saja membuatku berpikir pada setiap saat yang bisa kita habiskan bersama.

"Itukan, namamu, Bulan. Kupanggil dirimu saat hari begitu gelap dan dingin sedang langit di atas sana tampak kosong. Aku melihatmu tersenyum dan berkata besok kita akan bertemu lagi. Kemudian namamu adalah Senja, yang kutatap tanpa aku merasa bosan. Aku bahkan tak berani mendekat, aku takut merusak keindahannya. Terkadang kamu jadi cukup dingin juga, tak berkata satu hal pun padahal banyak hal ada untuk dibicarakan. Kamu adalah Mentari yang membuatku silau, yang membuatku kehabisan energi untuk berlama-lama bersamamu. Rasanya aku akan mati karena dehidrasi.

"Tapi aku tetap menantimu karena mungkin bisa saja, aku tak ingin menghabiskan satu hari itu karena semua yang kita punya adalah satu bulan. Setelah satu bulan, kita tak bisa bersama atau kita tak mungkin bersama. Semua itu adalah kesepakatan yang tak pernah kutanyakan pada takdir. Jika pada akhirnya semua berjalan dengan baik dan kita tak perlu berpikir soal hari-hari itu lagi, aku akan membiarkan semuanya berjalan begitu saja. Karena hari-hari itu membuatku menghitung. Karena hari-hari itu membuatku tidak nyaman. Aku ingin hidup tanpa peduli soal itu. Hari kemarin, hari ini, atau hari esok. Aku ingin semuanya tetap sama."

Kemudian tepuk tangan bergemuru sekelas, aku bahkan tak bisa melewatkan siulan dan gurauan kasar anak-anak . Mereka benar-benar tampak seperti berandalan yang tidak belajar. Aku hendak melenggos tapi lagi-lagi aku dihadapkan pada wajah guru bahasa indonesia, Bu Adiyah. Dia menatapku dengan ekspresi tidak percaya.

"Kamu mengutip karaganmu dari mana?" tanyanya.

"Aku membuatnya sendiri, bu."

Dia mengangguk-anggukan kepalanya. Aku berjalan ke arahnya dan memberikan kertas karanganku padanya. "Ibu tidak ingin memercayainya karena kamu bukan seorang yang bisa mengarang sebagus itu, Satria, apa kamu sedang jatuh cinta?"

"Ibu juga menggodaku sekarang?" aku tidak ingin memasang ekspresi apa-apa selain itu adalah ekspresi yang malas. Bu Adiyah tersenyum, dia melanjutkan pelajarannya kemudian. Aku harus mulai menebalkan telinga karena anak-anak pasti akan menggunakan karanganku sebagai bahan menggodaku seharian ini. Lagi-lagi, aku terbayang soal Anya. Apa yang sedang dia lakukan sekarang di kelasnya? Jika dia membuat sebuah karangan, akankah karangannya berisi soal aku atau tidak. Bukankah akhir-akhir ini aku berubah jadi konyol? Jika aku memang jatuh cinta, aku tidak ingin membanggakannya. Cinta lebih tampak seperti virus yang akan melemahkan, sedangkan orang itu, yang kau cintai, kau anggapnya sebagai obat. Kau tak akan sadar kapan dia akan berubah menjadi racun untukmu.

Lihat selengkapnya