Introvert

rimachmed
Chapter #12

Sejauh Ini Semuanya Baik-Baik Saja #12

Jika aku jadi dia, aku tak ingin pulang ke rumah di saat-saat seperti ini. Itulah yang aku katakan pada diriku saat motor kami sudah menyusuri jalan-jalan Semarang. Sesekali aku melirik ke arah spion dan Anya tak pernah sediam itu sebelumnya. Lebih banyak waktu ia gunakan untuk melamun. Jika aku mengantarnya pulang sedangkan tak ada siapapun di rumahnya, aku cemas sesuatu terjadi padanya. Dengan inisiatif yang tak pernah bisa kuduga sebelumnya, aku memberhentikan motor ke pinggir jalan. Anya tampak terkejut dengan apa yang aku lakukan.

Aku mebuka helmku dan menoleh. "Mau kuajak ke suatu tempat santai?" tanyaku.

"Ke mana?"

"Ada. Nggak bakal nyesel."

Anya hanya mengangguk selanjutnya dia tidak berkomentar. Aku berjalan lagi, entah berapa lama aku menjalankan motornya, Anya bahkan sampai menidurkan kepalanya di pundakku. Itu adalah perjalanan yang tidak kukira, kupikir tidak butuh waktu selama itu. Kami akhirnya melewati jalan bebatuan dan menanjak, pohon mulai menampakkan dirinya di sekitar kami. Aku memberhentikan motor di atas tanah berumput jarang, mencoba menghindari lumut. Anya turun lebih dulu dan memberikan helmnya padaku. Dia menatap ke sekitar sebentar dan akhirnya berjalan lebih dulu. Aku menyusulnya kemudian. Kami menaiki undakan dari batang-batang kayu dan berjalan semakin tinggi. Di depan sana sebelum pembatasnya berhenti, kami bisa melihat seisi kota. Rumah-rumah kecil yang banyak dan sawah-sawah hijau, kami bisa melihat semuanya. Sedang di depan kami langit membentang berwarna biru dan merah, matahari juga mengintip malu menuju barat.

Anya tak berkata apa-apa, dia menatap dengan senduh. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Aku juga tak hendak mengganggu ketenangannya. Angin berbondong-bondong berhembus dan menyegarkan kami. Aku menyukainya, semua keindahan ini dan juga Anya.

Kami sudah berdiri nyaris setengah jam. Aku memilih duduk di atas susunan kayu yang kami pijak. Lagi-lagi menatap ke arah Anya dan itu sudah cukup kulakukan untuk menunggunya.

Anya akhirnya menoleh lebih dulu, dia menatapku tanpa ekspresi apa-apa. Kemudian dia menghampiriku dan duduk menyila.

"Kamu tidak bertanya apa-apa," katanya, suaranya terlalu kecil untuk bisa didengar.

"Boleh aku bertanya?" lalu dia tersenyum di satu sudut bibirnya saja.

"Apa kamu akan bertanya apa semua itu benar?" dan aku diam kemudian. "Ada banyak hal yang semua orang tahu, tapi ada lebih banyak hal yang mereka tidak tahu."

"Maksudnya?"

"Aku hanya tidak percaya sedangkal itulah isi kepala semua orang, tapi yang lebih membuatku ingin tertawa adalah kenapa itu bisa menjadi masalah. Aku tahu kita tidak hidup di negara bebas seperti Amerika, kita hidup di negara di mana semua orang ingin mendengar dan mencela, mereka ingin melihat siapa yang lebih baik agar mereka merasa lebih baik. Lagipula aku tidak peduli."

"Aku juga tidak menyukainya, bagaimana komunitas kita menanggapi sesuatu seperti ini. Itulah kenapa generasi perudung tidak pernah mati. Tapi, bukan berarti Amerika lebih baik, kamu tahu tingkat kriminalitas di sana? Hukum benar-benar kacau di sana."

"Hukum yang dibuat manusia tidak ada yang tidak kacau, jika tidak menguntungkan suatu golongan belum bisa disebut hukum." Anya menundukkan kepalanya. Dia jadi kehilangan minat untuk berbicara lagi kemudian.

Kami saling diam, menikmati udara yang jadi begitu kencang dan semakin lama semakin menusuk tulang. Hari akan menuju gelap sebentar lagi, tinggal menunggu garis-garis merah di langit ditarik perlahan oleh matahari.

"Aku harap turun hujan," gumam Anya tiba-tiba. Aku menatapnya dengan kilatan guyon di mataku, tidak percaya.

"Jika turun hujan, kita tidak bisa pulang," kataku. Anya menatapku dan tatapannya benar-benar kaku.

"Karena itu," katanya, "aku berharap kita tidak kembali," dan terhenti di sana. Dia menundukan kepalanya dan kupikir dia bakal menangis, tapi saat mengangkat wajahnya Anya tersenyum.

Lihat selengkapnya