Introvert

rimachmed
Chapter #13

Rumor Apapun Pasti Akan Surut Pada Akhirnya #13

Setelah semalam, rasanya aku tidak tidur membayangkan soal hari ini. Pagi ini aku tak ingin tampak terlalu bersemangat di hadapan semua orang. Aku bahkan bangun lebih dulu dari ibu dan mengecek ponselku. Tanpa kusadari aku sudah masuk ke kolom chat dengan Anya. Aku hendak keluar tapi lagi-lagi sesuatu memasuki pikiranku dengan cepat.

'Mau berangkat bareng ke sekolah hari ini?'

Aku memasuki dapur untuk minum, menunggu balasan darinya. Aku mulai membuat sarapan, sarapan terpagi yang pernah kubuat sebelumnya: dua potong roti dan selai kacang. Ibu tampak baru bangun dan menguap lebar.

"Satria! Ibu pikir tikus," begitu katanya yang membuatku terkekeh sambil menghabiskan rotiku di meja dapur. "Nggak biasanya subuh bangun duluan, sudah sholat?"

"Sudah, dong, bu," kataku masih menatap ke ponselku. Ibu mulai berkutat di dapur dan sesekali menangkap gelagatku itu.

"Kamu sedang menunggu telepon dari siapa?" aku tidak menjawab, "mungkin masih tidur."

"Ya, kayanya."

"Ya sudah sana mandi duluan," ibu menyuruhku pergi setelah menghabiskan rotiku.

Itu pukul setengah enam dan aku sudah bersiap dalam balutan seragam. Aku masih hendak bersantai sebentar di ruang tengah, saat kudengar satu pesan masuk langsung saja kulihat. Itu dari Anya.

'Boleh' begitu balasnya. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menyambar tas sekolahku, menghampiri ibu dan mencium tangannya. "Aku berangkat sekolah dulu," dan pergi begitu saja.

Saat memilih menjemput Anya aku bahkan tak mengharapkan apapun selain bertemu dengannya lebih dulu ketimbang siapapun. Saat melihat wajahnya, aku tak pernah mendapati senyuman selebar itu sebelumnya saat ia menyambutku. Dia pasti menyukainya, kan? Perkataan yang kuucapkan semalam.

Anya naik ke belakang motorku dan kuberikan helm padanya yang kusimpan di jok motor.

"Siap?" aku bertanya dan kulihat dia dari kaca spion, tampak sudah cantik dengan helm.

"Kamu pakai cologne hari ini," katanya tiba-tiba, bukan pertanyaan, membuatku tak tahu menahu tapi merasa malu.

"Ah," aku berpura-pura mendesah lemas, "kenapa kamu harus menyadarinya?" yang membuatnya tertawa.

Kami punya banyak hal yang harus dilakukan sekarang selain belajar. Aku juga tidak tahu kenapa harus menyebutnya begitu. Hanya saja itulah yang aku pikirkan setelah sampai ke sekolah. Anya turun lebih dulu dan aku turun kemudian, semua mata mengarah pada kami. Anya bahkan tak memedulikannya, begitu pula aku. Aku menyampirkan ransel ke satu pundak dan kami berjalan bebarengan. Aku berkata soal beberapa hal dan kami menertawainya. Aku bahkan melewati kelasnya untuk membuang lebih banyak waktu bersama. Dan sepanjang itulah banyak mata terus mengawasi kami seperti burung hantu mengintai mangsanya.

Saat makan siang aku mampir lagi ke kelasnya, sengaja. Aku menengok bangkunya dari kusen pintu dan kulihat dia sedang berkutat dengan buku, padahal ini jam istirahat! "Anya, ayo makan di kantin," aku meneriakan ajakan itu padanya. Anya menatapku dan dia tersenyum, langsung bangkit dari duduknya dan menghampiriku.

Aku bahkan tak pernah peduli dengan siapa aku makan di kantin. Karena Radit lebih sering menempel padaku, dialah yang paling sering bersamaku makan di kantin. Lagipula itu hanya makan, kami memesan makanan dan sesekali menggoda penjualannya. Setelah makan kami balik ke kelas, terkadang hanya duduk-duduk di koridor sambil membicarakan atau melakukan sesuatu yang konyol. Rutinitas itu benar-benar menyamai umurku di sekolah.

Sekarang, aku mungkin telah mendobrak rutinitas baru, mengajak seorang perempuan makan yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Aku bertanya pada Anya kapan terakhir kali dia makan di kantin dan tebak saja jawabannya, dia tidak ingat, dia selalu membawa bekal. Terkadang dia beli sesuatu tapi untuk dibawa ke kelas. Dia tidak terbiasa duduk di sana, berlama-lama menghabiskan makanannya dengan semua mata diam-diam menatapnya kasihan.

"Kamu tahu apa sebutan semua orang untukku?" tanyanya.

"Apa?"

"Forever alone," jawabnya yang membuatku terkekeh geli.

Aku memesan soto dan Anya memesan yang sama. Kami duduk berhadapan dan menghabiskan soto kami. Aku juga melirik semua orang, apa mereka tidak capek memperhatikan kami?

"Boleh gabung?" aku menoleh dan menemukan Radit, dia sedang nyegir lebar. Lihatlah cengirannya itu, padahal pagi tadi dia masih sibuk membicarakan Anya bersama yang lain.

"Memangnya kamu bakal nurut kalau aku bilang nggak boleh?" tanyaku malas. Dia masih nyengir dan duduk di sampingku, membawa semangkuk baksonya dengan senang.

Aku meyakini ada hal yang tidak boleh dilakukan walau kamu terpaksa melakukannya, menyerah pada keadaan. Itulah yang kubenci kedua setelah ketidakadilan. Aku masih melakukannya, menatap ke arah Anya dan bersyukur dia bisa melupakan segala hal dan tersenyum untuk dirinya sendiri.

Setelah jam istirahat itu, aku kembali ke kelas dan beberapa anak langsung menggeromboliku di bangkuku. Tentu saja untuk mengorek sebanyak mungkin informasi soal Anya dariku.

"Jadi, kamu pacaran dengannya?" tanya salah seorang anak kelasku.

"Apa dekat harus selalu diartikan pacaran?" tanyaku balik.

"Maksudnya gimana? Jadi kalian berteman? Sejak kapan?" dan pertanyaan-pertanyaan itu takkan surut dengan cepat. Diam-diam seorang anak dengan terang-terangan mendekatiku, mencari waktu yang tepat, dan berbisik. "kamu mendekatinya untuk mengambil kesempatan, kan? Kamu jelas tahu bahwa dia sudah nggak perawan." Ferdi memang suka sekali cari gara-gara, pintar memprovokasi. Aku sudah hendak memukul wajahnya. Dengan menahan raut wajahku yang sudah dibuat muak, aku menatapnya.

Lihat selengkapnya