Hari itu kami janjian untuk ketemu di rumah. Ya, dirumahku! Aku juga tidak tahu apa ini terlalu cepat atau tidak. Aku membersihkan rumah, membersihkan kamarku lebih dulu, kemudian kamar mandi. Setidaknya aku memastikan tidak ada celana dalam yang biasanya ditinggalkan Surya di sana. Awalnya aku tidak ingin mengatakan apa-apa pada semua orang di rumah, lagipula bukan hal spesial juga. Di hari Sabtu begitu, ibu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan bersantai. Ayah sedang keluar mengurus sesuatu dan Surya senang-senang dengan teman-temannya sedangkan Naura, dia tidak punya kebiasaan lain selain menggambar di kamarnya.
Pukul sepuluh pagi, aku jadi sedikit khawatir. Ini mungkin terlalu pagi untuk berkunjung ke rumah. Anya bahkan bilang dia akan berangkat sendiri dan aku berharap dia sedikit terlambat. Sisanya aku menghabiskan waktu dengan menonton tv dan tak lama kemudian, seperti siapapun bisa menduganya, aku jatuh tertidur.
Tidak ada yang membangunkan, seharusnya memang tidak ada sesuatu yang terjadi. Mimpi-mimpi absurd sudah terlalu membawaku lebih jauh. Aku terbangun dan saat kulihat jam di HP itu sudah satu setengah jam berlalu. Aku terlonjak dan memperhatikan sekitar, TV masih menyala seperti sedia kala dan tidak ada siapapun di ruang tengah, ibu dan Naura mungkin sedang sibuk di kamarnya sendiri-sendiri.
Aku membuka HP-ku lagi untuk memastikan apa Anya jadi datang atau tidak. Dia mungkin punya urusan lain. Aku pun meneleponnya karena pesanku tidak ada balasan. Anehnya aku mendengar nada dering ponselnya di dalam rumahku. Dia sudah di sini! Setengah berlari aku menuju ke arah dapur. Benar saja, ada ibu, Naura dan Anya di sana.
"Sudah bangun?" ibu pertama kali bertanya, tak menghiraukan keterkejutanku. "Kami sedang menyiapkan makan siang."
Mataku masih tertuju pada Anya, dan dia hanya menatapku sekilas dan tersenyum sebelum kembali menggoreng. Ini tidak benar!
"Menurutmu apa sopan tidur saat tamumu datang, seharusnya kamu memberi tahu kami dulu. Dasar aneh," kata Naura, dia sedang sibuk memotong sayur-sayur.
"Ak-aku harus bicara dengan Anya," aku berjalan cepat ke arahnya dan langsung menarik tangannya, aku merampas spatula dan memberikannya pada Naura yang masih terpelongo. Astaga, mereka juga ada-ada saja. Bagaimana mungkin membiarkanku tetap tidur dan malah menyuruh tamu mereka masak.
Aku menarik Anya keluar dari dapur menuju ruang tengah yang lebih sepi, jauh dari jangkauan telinga siapapun.
"Kenapa tidak meneleponku jika sudah di depan?" sekarang aku merasa ingin kesal dengan situasinya.
"Aku sudah memencet bel," dia tersenyum dengan tampang tak berdosa. Aku memberantaki rambutku sendiri.
"Lalu membantu orang rumahku masak?!" dia malah tertawa.
"Aku yang menawarkan diri, ibumu bilang tidak menyiapkan apa-apa. Kamu juga tidak bilang kalau aku akan datang. Mereka tampak kecewa karena itu mereka tidak membangunkanmu," dia masih saja tertawa, memangnya lucu? "lalu ibumu bilang akan menyiapkan makan siang jadi aku menawarkan diri untuk membantu." Sekarang aku yang tidak bisa berkata-kata.
"Baiklah, tapi sekarang tidak perlu lagi. Kamu tunggu di sini dan jangan ke mana-mana," aku mendudukannya di sofa. "Mau minum sesuatu? dingin? panas? asem? manis?"
"Tidak perlu, aku tunggu saja di sini."
Saat aku masuk ke dalam dapur, aku melihat ibu dan Naura masih sibuk menyiapkan makanan. Aku menghembuskan napas berat, "kalian seharusnya tidak membiarkannya masuk dapur, apa begitu caranya memperlakukan tamu?" Aku mengamuk begitu saja, tak bisa lagi menahan diriku. Ibu tampak terkejut dan menatapku tak percaya.
"Apa begitu caramu bicara pada orang tua?" kata ibu.
"Ya, lagipula salah sendiri tidak mengabari kami pacarmu akan datang."
"Pacar? Siapa punya pacar?" tiba-tiba Surya masuk, muncul entah dari mana. Bukankah tadi dia keluar rumah, sejak kapan dia sudah balik?
"Kak Surya tidak lihat? Ada perempuan cantik di ruang tamu kita."
"Anya? Kalian pacaran?" tanya Surya padaku dengan pelototan. Dia pasti sudah bertemu Anya sebelum kemari.
"Belum, maksudku tidak," aku menggelengkan kepalaku, sekarang situasinya malah semakin runyam.
"Jadi kalian belum pacaran? Apa masih jaman PDKT lama-lama?" kata Naura.
Mereka seharusnya diam saja jika tak tahu permasalahannya. Jika sudah begini aku yang malas sendiri membahasnya. Aku memilih keluar dari dapur dan kembali pada Anya.
Anya masih duduk tenang di atas sofa. Dia bahkan mulai memperhatikan sesisi rumahku dan terkadang pada TV yang menyala dengan suara kecil.
"Mau menonton TV? Mau kubesarkan volumenya?" tanyaku salah tingkah.
"Aku kemari bukan untuk nonton TV."
"Ah, benar," aku menggaruk belakang kepalaku lagi, "kamu kemari mau bertemu keluargaku, ya?" Mendengarnya Anya malah tertawa.
"Kamu pikir aku kemari benar-benar untuk itu?" dan kami saling menatap untuk beberapa saat. Bahkan jika aku bisa menatapnya selama yang aku mau, aku tetap tidak akan pernah bisa tahu apa yang ada di dalam kepalanya.