Sudah tiga hari aku mencoba menghubungi Anya beberapa kali, tapi tidak dijawab. Aku bahkan mendatangi kelasnya, tapi sikapnya benar-benar dingin. Dia tidak hanya tidak mau bicara padaku, dia sama sekali tidak melihatku. Anya bahkan jauh lebih mudah tersinggung dibanding siapapun. Saat dia marah, itu juga bakal awet sekali.
Aku sudah berkali juga bilang maaf. Aku juga sudah bilang tidak akan mengulanginya. Lalu apa lagi yang dia inginkan aku lakukan padanya? Aku jadi dibuat kesal sendiri. Mungkin lebih baik aku mendiamkannya dulu, dia juga butuh waktu sendiri sama sepertiku.
Seminggu menunggu rasanya juga tidak buruk. Aku masih bisa melupakannya dan menyibukan diriku dengan hal lain. Lagipula aku harus persiapan untuk ujian semeter akhir yang bakal datang tidak lama lagi. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak lagi berhubungan dengan Anya Felda. Aku tidak tahu apa dia masuk sekolah atau tidak, aku juga tidak tahu kabarnya. Aku tidak tahu apa dia sudah mulai punya banyak teman atau masih tetap sama seperti sebelumnya. Untuk sementara kami bisa mengurusi urusan kami masing-masing dan berhenti memusingkan orang lain, mungkin kalimat ini lebih cocok untukku.
Radit sempat bertanya suatu kali padaku, "kamu tidak menemui Anya? Nggak biasanya," yang hanya bisa kudiamkan tanpa memberi jawaban.
Di akhir minggu aku mulai mengecek sosial media termasuk membuka kembali profil Anya. Tidak ada yang berbeda dari terakhir kali aku lihat, masih tetap ada empat foto di sana. Tanpa bisa kutahan diriku lagi, aku mulai kembali membuka satu per satu foto itu dan mendalaminya. Tak seperti terakhir kali, aku mungkin lebih banyak bisa mengerti foto itu.
Foto yang pertama kali Anya posting adalah foto dengan ekspresi datar dari wajahnya, menghadap ke bawah sedang kameranya memotret ke atas, menangkap sinar lampu yang ada di atasnya. Dia bahkan tak perlu mencoba estetik pada foto-foto ini. Dia mungkin juga asal-asalan melakukannya. Karena objek fotonya sudah bagus, hasilnya ya tidak perlu diragukan. Aku bahkan menatap foto itu lebih lama dari sebelumnya.
Aku kemudian beralih ke foto yang lain, foto ke dua. Foto yang menampakkan tato di kakinya. Memang biasanya tato diidentikan dengan sesuatu yang berani. Jaman dulu orang bertato mungkin disebut nakal, tapi menurutku selagi tatonya tidak berlebihan dan bahkan berada di tempat yang jarang orang memperhatikan, tidak masalah. Di kaki Anya tato bergambar seperti ini bisa saja menyebabkan trend, hanya saja dia tidak populer dan tidak ingin populer.
Aku kemudian beralih ke foto ke tiga: foto sebuah kafe. Mungkin tidak ada alasan dari pengambilan foto ini, hanya sebuah ruang kosong yang menampkan sedikit perabot. Apa ini kafe yang tidak jauh dari rumahnya? Dan tampaknya kafe ini juga tidak ramai.
Di foto ke empat, foto ini yang membingungkanku karena tampak tidak begitu jelas. Anya ingin memotret dua orang tanpa benar-benar ingin memperihatkannya. Aku jadi membayangkan Anya pada posisi ini, saat dia hendak mengambil foto ini. Dia sedang berada di suatu kafe bersama sepasang kekasih muda berani yang baru dia temui dan ternyata mereka akrab dengan cepat. Kemudian pasangan itu bermesraan di depannya, Anya tertawa selagi mengatakan agar mereka berhenti. Dia juga bercanda dengan mengambil foto mereka, menutupnya dengan tangannya dan membuatnya sekali lagi tampak blur.
Aku mungkin terlalu berlebihan menyebut bahwa dia tidak punya teman. Dia mungkin punya teman, teman-teman yang tidak pernah kutemui sebelumnya dan mereka tidak satu sekolah. Lagi-lagi aku membanting ponselku ke kasur dan menekan kepalaku sendiri. Aku sudah berusaha agar tidak memikirkan soal Anya, nyatanya memang tidak semudah itu. Aku kemudian bangkit berdiri, mengambil jaket kainku yang tersampir di kursi dan memakainya.
Ini sudah malam, aku tahu. Tapi aku benar-benar ingin menemui Anya dan sekali lagi mencoba meluruskan segalanya.
Aku sampai di depan rumah Anya, lampu teras rumahnya nyala dan pintunya ditutup rapat. Pagarnya tidak digembok dan aku melihat sepasang sepatu hitam milik laki-laki ada di karpet di depan pintu rumahnya. Sepertinya ada orang di dalam selain Anya. Orang itu juga memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah.
Aku mencoba mengatur napasku untuk terakhir kali dan kemudian memencet bel rumahnya. Butuh tiga kali aku memencet bel hingga suara kunci pintu dibuka dan seorang laki-laki mungkin berusia lima puluhan keluar dari pintu.
"Siapa?" dia bertanya dari arah pintu saat melihatku. Aku bertanya-tanya siapa dia, apa dia ayahnya Anya?
"Saya... temannya Anya, om."
"Ada apa datang malam-malam?" dia masih tetap di ambang pintu, berteriak ke arahku.
"Maaf, om, mengganggu malam-malam. Ada yang ingin saya bicarakan dengan Anya, sebentar saja, jika boleh," aku tidak bisa menahan kecanggunganku sendiri. Laki-laki itu tampak menghembuskan napas berat, dia masuk dan menutup pintunya. Kuharap dia tidak mengabaikanku dan memang memanggil Anya di dalam. Di lain sisi, kepalaku jadi berpikiran liar. Bagaimana jika dia bukan ayahnya Anya, Anya baik-baik saja, kan, di dalam? Aku mengambil ponselku dan mulai meneleponnya beberapa kali tapi tidak di jawab. Saat aku hendak membuka paksa pintu itu, pintu akhirnya terbuka dan Anya memperlihatkan dirinya. Dia mengenakan sandal kemudian menghampiriku.
"Ada apa?" tanyanya, masih ketus.