Saat aku kecil, orang-orang hobi bertanya soal cita-citaku. Dulu aku selalu bertanya-tanya kenapa para orang tua melakukannya, mengapa mereka ingin tahu ingin jadi apa kami saat sudah besar nanti. Aku selalu mendengar jawaban seperti 'ingin jadi dokter, ingin jadi insinyur, ingin jadi guru' dan jawaban itu terus berulang kudengar, bahkan seorang anak menyebutkan semua cita-cita yang dia tau, satu anak bisa menginginkan dua cita-cita. Saat itu aku sadar mereka tidak benar-benar tahu apa yang mereka inginkan.
Kakekku memberitahuku bahwa cita-cita itu adalah kesungguhan. Saat kamu menginginkannya kamu harus benar-benar melakukannya, bahkan tak perlu menunggu saat kamu sudah besar nanti.
Ada perbedaan ekspresi yang muncul di wajah para orang tua yang bertanya soal cita-cita pada temanku kemudian padaku. Aku menjawab dengan yakin "aku ingin menjadi seorang jaksa."
"Jaksa?" dan mereka pasti terpelongo. "kamu tahu jaksa itu apa?"
"Ya," jawabku lagi-lagi mantap, kemudian mereka pasti mengelus-elus kepalaku. Kukira mereka memang menginginkan jawaban yang sesungguhnya, tapi mereka tak suka anak kecil yang sok menjadi dewasa, mereka ingin jawaban yang lucu.
Cita-citaku jadi semakin jelas saat aku duduk di kelas enam SD. Aku bahkan tidak bisa melupakan setiap detail apa yang terjadi waktu itu sampai kapanpun. Jam pulang sekolah, biasanya semua anak menunggu jemputan di halaman depan sekolah. Beberapa anak bermain di halaman bermain sekolah, jarang sekali anak-anak masih berdiam di dalam kelas apalagi bersama seorang guru.
Nyatanya memang ada, namanya Gita dan dia punya tubuh gemuk dan kulit yang seputih susu. Teman-teman selalu mengolok-olok tubuhnya dan kaca mata bulat yang dia pakai. Aku baru dari kamar mandi saat mendengar dia menangis di kelas. Pintunya ditutup sehingga aku membuka dan mengintip ke dalam. Dia tidak sendiri, guru seni sekolahku juga ada di sana sedang memangkunya dan menenangkannya agar berhenti menangis. Dia bahkan membisikan sesuatu di telinganya dan membuat Gita kegelian sampai tertawa.
Aku bahkan tak berpikir apapun selain itu adalah hal wajar sebagai perhatian yang diberikan seorang guru kepada muridnya. Aku hendak menutup pintunya, tapi guru itu lebih dulu menyadari keberadaanku.
"Satria?" dia bangkit berdiri dan menurunkan Gita dari pangkuannya. "Kamu belum pulang?" dia menghampiriku, aku jadi terpaksa membuka pintunya lebih lebar.
"Tidak, pak, aku pulang sendiri," kataku.
"Masuklah," senyumannya lebar dan ramah, "bapak sedang menghibur temanmu yang sedang sedih."
Aku menatap ke arah Gita dan tak berkomentar apa-apa. Waktu itu, aku juga tak suka jika berhubungan dengan anak-anak yang sering jadi ejekan anak yang lain, terlebih Gita sangat cengeng sehingga anak jadi senang untuk terus menggodanya.
"Kalian satu kelas, kan? Kenapa kaku begitu. Ayo, sesama teman harus saling menghibur jika temannya membutuhkan."
Akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara lebih dulu, "jangan menangis, jangan dengarkan ejekan anak-anak."
Gita tersenyum malu-malu dan mengangguk-anggukan kepalanya.
"Nah, begitu dong."
Aku mengangguk juga. Cukup canggung dengan situasinya. Aku pun izin untuk pulang lebih dulu dan meninggalkan mereka berdua di sana.
Mereka tidak hanya berduaan sekali itu saja. Gita tak pernah langsung pulang saat bel pulang berbunyi, dia selalu diam tenang di bangkunya tanpa membereskan peralatannya. Suatu kali aku bertanya padanya, "kamu tidak pulang?"
"Aku akan belajar menggambar dengan Pak Hakim," begitu jawabnya.
Aku hanya menganggukan kepalaku dan meninggalkannya. Setiap pelajaran seni, aku jadi sering memperhatikan Gita dan bagaimana Pak Hakim memperlakukannya. Perlakuannya jelas berbeda dari yang lain. Pak Hakim juga selalu menyuruh Gita membawakan tugas semua anak dan mengumpulkannya ke mejanya.
Saat di rumah, saat aku sedang senggang dan bersama ibu, aku jadi teringat soal Gita. "Bu, kupikir guru seni kami pilih kasih pada salah satu perempuan di kelasku."
"Benarkah?" ibu bertanya, tak benar-benar tertarik.
"Ya, dia bahkan selalu memberikan pelajaran tambahan sepulang sekolah padanya."
"Kamu juga mau dapat pelajaran tambahan?" tanya ibu, tatapannya masih mengarah pada buku TTS yang sedang dia kerjakan. Aku berpikir keras, aku bahkan tak begitu suka menggambar.
"Tidak," aku menggelengkan kepala, "tapi... bukankah tidak adil?" aku meyilangkan tanganku ke depan. Selalu saja sebal jika memikirkannya. Perhatianku jadi banyak tercurahkan pada Gita dan guru seni itu, aku selalu diam-diam memperhatikan mereka seakan aku bisa punya bukti atas ketidakadilan yang sedang terjadi di sana. Suatu kali aku mengintip mereka, di jam pulang sekolah: guru itu menurunkaan rok Gita hingga ke lantai dan memegang-megang celana dalamnya. Saat itulah aku sadar apa yang sebenarnya sedang terjadi di sana.
Ayahku selalu mengajarkanku bahwa para perempuan punya keistimewaan tersendiri, itulah kenapa Naura tidak boleh bertelanjang dada sedangkan aku dan Surya masih boleh, kami tidak boleh tidur di kasur yang sama, atau mengenakan selimut yang sama, aku dan Surya juga tidak bisa masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintunya lebih dulu. Semua itu berlaku karena kami memiliki bentuk tubuh yang berbeda. Tubuh memiliki privasi dan harus dijaga, begitulah ayah mengajarkan kami, seperti pintu yang dikunci rapat dan kuncinya harus disembunyikan. Tidak boleh ada yang tahu kecuali diri sendiri. Kami harus menjaga tubuh kami dan tidak membiarkan orang lain menyentuhnya, siapapun mereka.
Waktu itu, aku langsung pulang ke rumah dan seharian memikirkan soal apa yang terjadi di sekolah. Aku ketakutan, aku pikir aku bakal diolok-olok oleh anak-anak yang lain karena bersikap aneh dan berpikiran kotor. Semalaman aku jadi sulit tidur, sehingga keesokannya, tepat keesokan paginya saat aku berangkat ke sekolah, aku menyuruh sopir angkot yang biasa mengantarku berhenti tepat di polres tak jauh dari sekolah.