Aku terbangun pagi itu di ruang tamu rumah Anya. Aku melihat pintu depan rumahnya terbuka. Anya pasti sudah bangun lebih dulu. Aku masuk ke dalam sambil memanggil-manggil namanya, aku juga mengetuk pintu kamarnya tapi tidak ada sahutan. Tidak ada siapapun di ruang tengah, di dapur atau di kamar tidur. Aku juga tidak mendengar ada sahutan dari kamar mandi. Apa dia keluar lebih dulu pagi ini? Padahal aku tidak bangun sesiang itu.
Aku pun keluar rumah dan berdiri di teras rumahnya. Komplek rumah Anya bahkan cukup sepi di pagi hari. Para tetangganya bukan jenis tetangga yang ramai, cocok sekali dengan Anya. Aku meregang-regangkan tanganku, setidaknya aku harus mengembalikan energi dengan cepat pagi ini. Saat Anya kembali, ada hal yang harus kita bicarakan dan selesaikan.
Selama semalaman, aku nyaris tidak tidur karena memikirkan solusi. Anya tidak mau melibatkan orang tuanya. Dia juga tidak mau melibatkan polisi. Bukankah itu artinya dia mau menyelesaikan masalah ini sendiri? Sebenarnya aku berpikir untuk menemui anak perempuan itu, walau kedengarannya memang berbahaya. Tapi negosiasi adalah satu-satunya jalan, bertanya apa yang dia mau dari Anya. Aku tidak tahu apa itu akan berhasil atau tidak, mendengar dari pesannya tampaknya kebenciannya sudah sangat dalam dan sangat sulit untuk mencapai negosiasi apapun. Anak perempuan itu bisa saja bertindak kalap dan melakukan hal yang lebih buruk. Aku juga tidak tahu apa kata-katanya adalah sebesar nyalinya atau dia hanya ingin meneror Anya. Itu bisa saja terjadi, ingin membuat Anya hidup tidak tenang.
Rasanya semua pergejolakan di kepalaku hanya membawaku ke jalan buntu. Aku meraih ponselku dan mulai menelepon Anya, aku khawatir jika dia pergi sendirian di luar sana bakal berbahaya untuknya.
"Hallo," dan ternyata diangkat.
"Kamu di mana? Kenapa pergi sendiri tanpa membangunkanku?"
Kudengar tawa renyah di ujung sana, "maaf, aku sedang berjalan-jalan sebentar di sekitar rumah. Rasanya pikiranku menggila jika lama-lama di rumah."
"Tetap saja, seharusnya kamu membangunkanku."
"Sebentar lagi aku pulang, kok."
"Baiklah, aku tunggu ya," dan telepon terputus.
Perutku keroncongan. Selalu saja serangan mendadak di pagi hari. Lagipula semalam aku juga tidak makan apa-apa. Setengah memberanikan diri, aku masuk ke dalam, ke arah dapur. Aku mulai membongkar isi dapurnya. Dia mungkin menyimpan makanan instan di nakas dapurnya. Lemari itu berisi perabotan memasak seperti panci-panci sampai blender. Sepertinya lumayan lengkap, tapi aku ragu Anya menggunakannya karena pertama kali membuka lemarinya baunya benar-benar seperti kayu yang sudah lama ditutup.
Aku kemudian beralih ke arah kulkas. Anya menyimpan beberapa kotak susu dengan berbagai varian rasa di kulkasnya. Sepertinya, untuk menghemat waktu, dia lebih sering minum susu ketimbang makan. Walaupun begitu, tentu saja gaya hidup itu tidak sehat. Tubuh tetap membutuhkan karbohidrat, terlebih dia harus menguras isi kepala selama sekolah. Aku juga menemukan sekotak sereal, beberapa telur. Anya lebih banyak memenuhi freezernya dengan makanan frozen. Ada potongan sayur yang di frozen, sosis, nugget, daging katsu, dan strawberry, semuanya membeku.
Akhirnya aku berinisiatif membuat telur dadar ditambah keju yang tadi sempat kutemukan dari kulkasnya. Aku mengocok telur dan memanaskan wajan. Menggunakan sesendok mentega dan menggoreng telurku di sana. Totalnya, aku membuat dua telur dadar. Aku juga membakar roti di atas nakas dapur dengan mentega. Selagi mencium aroma roti bakar dan telur dadar, rumah ini benar-benar terasa lebih hidup.
Aku kemudian menata makanan itu di atas meja makan. Aku mengambil dua gelas dan mengisinya dengan susu dari kulkas. Ini baru sarapan yang bergizi, ada protein, karbo dan susu. Lengkap sudah. Sekarang tinggal menunggu sang pemilik rumah sampai.
Kupikir saat Anya bilang sebentar lagi ia pulang itu artinya kurang dari sepuluh menit. Aku melihat ke arah jam dinding, sudah lewat dari satu jam tapi dia belum kembali. Aku mengambil ponselku dan kembali menghubungi nomernya, kali ini tidak tersambung. Dia benar-benar hobi membuatku khawatir. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, terus-menerus menelepon nomer yang sama. Tetap saja, tidak diangkat. Apa sesuatu terjadi padanya?
Aku bergegas keluar dari rumah, dia mungkin berada tidak jauh di sekitar sini. Pikiranku mulai berkelana memikirkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Seharusnya aku menanyakan di mana dia, seharusnya aku menjemputnya.
Aku mulai mengelilingi kompleks perumahan Anya, aku juga keluar dari kompleks itu dan menyusuri jalan-jalan tak jauh dari sana. Aku sampai memperhatikan benar ke dalam kafe-kafe atau toko yang ada di sana, mungkin Anya ada di dalam. Tapi, aku tidak melihat Anya di mana-mana. Dia menghilang, begitu saja. Nomer teleponnya tidak aktif dan dia juga tidak ada di sekitar rumahnya. Sekarang, aku tidak bisa tidak mengambil keputusan ekstrim. Aku harus menelepon polisi.
Saat aku kembali ke rumah Anya untuk membereskan barang-barangku yang tersisa di sana. Aku menatap ke ponselku dan hendak menelepon 110, satu pesan masuk dari Anya. Saat itu rasanya jantungku sudah dibuat copot dari tempatnya. Cepat-cepat kubaca pesan darinya
'Dia mengirim pesan lagi, laki-laki itu, kami akan bertemu di hotel. Aku akan berbicara dengannya lebih dulu. Tolong jangan menelepon polisi atau orang tuaku'
Anya juga mengirimkan nama hotel itu lengkap dengan nomer kamarnya. Apa dia sudah kehilangan akal sehat? Kenapa dia menyetujui bertemu pedofil terlebih mereka bertemu di kamar hotel? Aku langsung berlari keluar dari rumah, mengunci pintunya dan menaiki motorku. Kularikan motor itu gila-gilaan menuju hotel yang dimaksud Anya. Aku bahkan langsung menerobos masuk tanpa memedulikan satpam ataupun pelayan yang berjaga di sana. Aku menaiki lift bersama-sama orang yang juga menyewa kamar. Kartu akses orang tersebut lah yang membawaku ke lantai tempat Anya berada.
Nomer 405. Aku mengingat dengan kuat di kepalaku, seakan sudah kutancapkan dengan benar. Satu-satunya yang kutakutkan adalah aku datang terlambat dan semua hal buruk yang kubayangkan sudah terjadi.
Saat sampai di depan kamar, kugedor-gedor kamar itu, tapi tidak ada jawaban. Benar-benar membuatku gila, aku bahkan berpikir untuk mendobrak pintunya. Hari ini aku sudah membuat keributan yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Semua tetangga kamar itu sampai keluar dari kamarnya untuk melihat kehebohan apa yang terjadi di koridor mereka. Aku masih saja meneriakan nama Anya tanpa peduli lagi pada mereka. Satpam hotel sampai dipanggil untuk menghampiriku.