Ibu Mona baru bisa dihubungi pukul delapan malam itu, dia bilang dia sedang dalam perjalanan pulang sehingga kami memutar arah yang menuju entah ke mana itu, beralih ke rumah Mona. Ibu Mona mengatakan bahwa dia tidak pulang bersama Anya, Anya memilih pulang sendiri.
Kami sampai lebih dulu di komplek rumah Mona. Kami bertanya soal Anya pada tetangga tepat di samping rumah itu. Tetangga itu, bilang bahwa anak itu sering berkunjung ke rumah Mona sejak mereka pindah ke sana. Rumah yang mereka tempati itu tak lama dari tiga tahun yang lalu saat Roni memberi sejumlah uang agar mereka mengontrak di tempat yang baru karena tempat lama mereka membuat mereka tidak nyaman, terutama Mona. Dia dirudung di sekolah lamanya.
Mona pernah cerita dia mengenal Anya di komunitas lari tiga tahun yang lalu. Mereka mulai dekat sejak saat itu. Bagi tetangga Mona, Anya adalah anak yang baik dan ramah. Mereka sering berjalan-jalan bersama, menghabiskan uang dan pulang membawa belanjaan. Ibu Mona bekerja di sebuah yayasan sosial untuk anak-anak. Anya terkadang juga membantunya dan Mona saat yayasan tersebut mengadakan event.
"Kami hanya makan es krim," jawab ibu Mona saat sudah sampai di depan rumah, taksi onlinenya langsung pergi begitu saja seakan tak ingin ikut menyaksikan kehebohan yang bakal terjadi malam itu. Tentu saja heboh, aku tidak hanya bersama orang tua Anya, orang suruhan ayah Anya juga di sana, bersama dua orang polisi dan Roni. Kami sudah berkumpul di sana sebelum ibu Mona sampai. Beberapa tetangga sampai ikut menonton dari arah rumah mereka "Sebenarnya apa yang sedang terjadi?" tanyanya, cukup terkejut dengan sambutan itu.
Ayah Anya juga merasa bahwa situasi itu jadi lebih heboh dari seharusnya. Salah satu orang suruhannya membisikan sesuatu sehingga ayah Anya berdeham dan merasa perlu berbicara pada polisi. "Sepertinya ada kesalahpahaman di sini, Pak. Tapi tampaknya kami bisa menyelesaikannya sendiri sekarang."
Pak polisi itu mengangguk-anggukan kepalanya tidak mau memperumit situasi, "saya anggap ini hanya kesalahpahaman dua keluarga, Pak Ben. Kalau begitu kami pergi lebih dulu," katanya dan mereka kemudian berjabat tangan. Aku juga baru mengetahuinya, ayah Anya mengelolah perusahaan di bidang telekomunikasi. Dari bagaimana polisi meyeganinya, sudah jelas dia orang yang punya kedudukan tinggi di sana. Dan Roni, Roni adalah mantan tangan kanannya sebelum akhirnya dipindahkan ke Singapura karena tak ingin menarik media atas kasus yang terjadi di dalam keluarganya.
"Kita mungkin bisa membicarakan ini di tempat yang tidak terbuka seperti ini," kata ayah Anya kemudian. Ibu Mona tampak berbagi pandangan dengan mantan suaminya sebelum dia pada akhirnya mengizinkan kami semua masuk ke rumahnya.
Pertanyaan pertama yang dilontarkan ayah Anya setelah masuk ke rumah adalah bagaimana Mona dan ibunya bisa dekat dengan anaknya. Dari pertanyaan itu aku paham bahwa yang dimaksud ayah Anya adalah bahwa mereka seharusnya sepakat untuk menjauh dan tidak pernah lagi berhubungan dengan Anya, hubungan mereka sudah dianggap terlarang sejak Roni dipindahkan keluar negeri.
"Dia, anak itu... Dia mendatangiku lebih dulu. Awalnya aku tidak ingat bahwa dia adalah gadis yang pernah berhubungan dengan Roni," ibu Mona mulai menjelaskan. Aku bisa melihat terkadang ada kilatan takut di sana, dia menatap ke arah Roni kemudian ke arah yang lain. Dia seperti tidak ingin jika sampai jawabannya dapat memperumit keadaan. "Dia datang untuk menemui Mona suatu kali, kemudian dia menatap foto keluarga kami. Ada Mas Roni juga di foto itu, dia menatap lama sekali dan kemudian dia berbicara padaku sambil menahan tangis. Dia minat maaf karena telah membuatku dan Mona hidup seperti ini. Aku bertanya apa maksudnya, kemudian dia bilang bahwa dia mengenal ayah Mona. Dia yang pertama kali memberitahuku, dengan berani, dia mengatakan bahwa dia adalah gadis yang manjadi korban pelecehan." kemudian cerita ibu Mona berhenti di sana, dia menunduk dan langsung terisak.
"Aku terkejut, tentu saja, terkejut," dan dia masih menangis, "dia minta maaf atas kesalahan yang tidak dia perbuat, dia adalah gadis yang polos. Dia mendatangi kami untuk melihat bahwa kami hidup baik-baik saja sejak kejadian itu. Aku malu, aku malu pada diriku sendiri. Dia pernah bilang dia sudah tak bisa merasakan apa-apa, hasrat atau rasa sakit, itu terasa sama saja. Tapi Mona dan aku, kami mungkin hancur menghadapi kenyataan bahwa mantan suamiku adalah seorang penjahat, begitu katanya. Sedang kami, kami tak pernah meminta maaf soal apapun, gadis itu datang pada kami dan meminta maaf. Aku malu, rasanya aku ingin menguburkan diriku sendiri hidup-hidup," kemudian tangisnya jadi semakin kencang.
Aku tidak ingin mendengar sisanya, kupikir itu adalah masalah keluarga. Walau aku sudah terjun terlalu jauh sampai ke sini, aku akhirnya memilih untuk pergi sendirian. Aku tak bisa melupakan bagaimana ibu Mona berbicara tadi. Aku tidak bisa melupakan tatapan mereka. Itu adalah tatapan orang-orang yang lama disakiti dan tidak sembuh. Roni mungkin berharap setelah lima tahun dia kembali ke Indonesia, dia bisa mendapati keluarganya kembali padanya. Dia mengharapkan kehidupan normal bersama keluarganya lagi.
Aku tidak tahu apa Anya sungguh-sungguh dengan perkataannya. Soal dia yang menyesal karena merasa terlibat memecah-belah keluarga mereka. Tapi yang kulihat, apa yang dia lakukan dengan mendatangi keluarga ini bukanlah untuk menyembuhkan, sebaliknya dia semakin memperdalam luka dan meluluh-lantakkannya. Tatapan Mona pada ayahnya adalah penuh kebencian, begitulah tatapan ibu Mona. Mereka tidak ingin lagi menerima ayah mereka ke dalam hidup mereka. Mereka tidak pernah mengingkan ayah mereka kembali ke Indonesia. Entah apa yang sudah Anya tanamkan selama tiga tahun, yang jelas Anya berhasil melakukannya.
Semuanya pasti sudah ia susun di dalam kepalanya, rencana-rencana untuk menghancurkan harapan sebuah keluarga bisa kembali bersatu. Sejak Mona dan ibunya pindah rumah, itu jelas adalah harapan mereka untuk membuka lembaran baru dan melupakan kenangan yang lama, tapi Anya, dia memasuki kembali lembaran itu sengaja menorehkan kisah-kisah lama agar bertahan di sana selamanya.
Bagiku Anya adalah meteor yang kapan saja bisa jatuh dan terjun bebas. Dia seperti lukisan monalisa yang memiliki banyak arti, kesedihan atau kesenangan, tak dapat dibedakan. Dia bisa dengan mudah memalsukan air mata atau tawa. Dia bisa berubah menjadi orang yang peduli ke sepenuhnya tidak peduli. Dia bisa menyakiti perasaan seseorang seakan itu bukan apa-apa.
Aku langsung pulang kembali ke rumah. Ibu yang melihatku bertanya apa ada sesuatu terjadi. Tapi aku tak menjawab, aku hanya bilang capek dan ingin istirahat. Kemudian tanpa melakukan apa-apa lagi, aku masuk ke dalam kamar dan membanting tubuhku di atas kasur.
Hari ini memang melelahkan, tapi besok aku mungkin bisa melupakan sedikit soal hari ini, semua rasa mengganjal di dalam hatiku. Walau aku tak bisa lupa pernah mengenal seorang seperti Anya, aku hanya tahu seperti inilah akhirnya. Sudah cukup aku mengenalnya sehingga aku tak perlu mencoba mendekatinya lagi. Biarlah, hari ini berakhir dengan caranya sendiri.
***
Ujian akhir semester berlalu selama seminggu penuh. Kami belajar dengan keras dan kurang tidur. Setidaknya kami hanya butuh waktu seminggu ini untuk berjuang mati-matian karena setelahnya semuanya bakal berlalu. Kenaikan kelas di depan mata. Liburan panjang bakal kami sambut.