Introvert

rimachmed
Chapter #20

Sikapnya yang Tidak Masuk Akal Itu #20

Bisnya datang pukul delapan pagi. Di grup, anak-anak sudah mewanti agar tidak datang terlambat. Yang datang terlambat, harus berjuang entah bagaimana untuk menyusul bisnya. Aku jelas bukan tipe orang yang biasa datang terlambat. Bahkan beberapa orang setuju, soal waktu aku sangatlah tepat.

Baju yang kukenakan hari itu cukup santai karena perjalanannya lumayan menghabiskan waktu. Aku hanya mengenakan kaos hitam dan celana kargo krem selutut. Selain itu, aku juga mengenakan topi baseball andalanku yang pasti akan sangat berguna di sana nanti. Untuk agenda tempat-tempat yang akan kami kunjungi, aku tak tahu banyak. Liburan ini sepenuhnya kuserahkan pada anak-anak. Bisa mengalihkan pikiranku saja sudah cukup bagus.

Aku juga tak bertanya total berapa anak yang ikut. Bisnya ternyata tidak begitu besar. Mungkin bisa muat hingga 25 orang saja. Lagipula biasanya liburan seperti ini memang tidak banyak yang datang, hanya mereka yang ingin menghabiskan uang dan energi dalam waktu yang cepat. Jika aku punya hal yang lebih penting untuk dilakukan, aku lebih memilih melakukannya daripada berada di dalam bis ini.

Radit menepuk tangannya dua kali untuk mendapatkan perhatianku sesaat setelah aku memasuki bis. Dia menyuruhku mengambil kursi di belakang. Kursi di belakang bukan pilihan yang bagus, anak-anak yang ramai dan banyak mulut pasti berkumpul di sana. Aku lebih baik duduk di depan dan menghabiskan sebagian besar waktu di jalan dengan tidur. Aku mengambil sisi di dekat jendela dan mulai memperhatikan keluar. Sepuluh menit lagi seharusnya sudah jalan, tapi masih banyak yang belum datang. Aku memutuskan untuk tertidur sejenak karena tak ada hal yang lebih bagus yang bisa kulakukan selain itu.

Aku terbangun kemudian karena sorakan-sorakan anak-anak yang mengatakan bisnya akan segera berangkat. Aku menoleh ke belakang pada mereka dan rupanya semua kursi sudah nyaris terisi.

"Berangkat sekarang?" sopir bisnya baru masuk, tampak baru selesai merokok. Dia hendak duduk di kursinya.

"Seharusnya kurang satu anak lagi."

"Ayo dong, ini sudah lebih dari 30 menit!" amuk seseorang, aku hanya bisa berdecak.

"Hei! Di mana hati nurani kalian?"

"Apa aku butuh hati nurani untuk mendengar omong kosongmu?"

kemudian yang lain menimpali lagi, "Iya, bukankah tadi kamu bilang jumlahnya pas?"

"Apa aku tidak boleh berubah pikiran?" dia, Arif kembali cengengesan tak serius.

"Sudah, pak sopir, tinggal saja!" teriak seorang lagi.

"Sebentar saja, lima menit," tahan Arif. Lagipula mereka sudah membuang waktu dengan saling berteriak seperti itu, membuang waktu lebih banyak lagi sama sekali tak ada artinya.

Dan benar saja, bukan lima menit, tapi lima belas menit! Kita dibuat menunggu salah seorang anak yang kesiangan itu, yang pasti menghabiskan lebih banyak waktunya untuk tetap tidur di atas kasurnya. Aku tak hendak melihatnya masuk, aku hanya menonton keluar jendela. Jika diperhatikan lagi, anak-anak yang ikut benar-benar tersebar dari semua kelas di kelas sebelas. Tidak hanya anak IPS, beberapa anak IPA yang aku tahu dan beberapa cewek-cewek populer yang pasti lebih banyak mendapatkan bujukan untuk ikut ketimbang yang lain, juga ada di sana. Termasuk cewek yang terlambat ini, dia bahkan mengenakan dress berwarna merah muda setinggi betis dipadu dengan sandal tinggi, dia pikir mau liburan ke mana? LIburan ini akan lebih menghabiskan waktu dengan alam, siapapun tidak akan sempat untuk dandan.

Satu bis dibuat terdiam, di akhir keheningan itu aku mendengar siulan. Kemudian, Arif yang sedari tadi cukup menahan sopir untuk tidak menjalankan bisnya, mulai berbicara dari belakang.

"Di depan saja, itu, di samping Satria," dan aku menoleh padanya untuk memberinya tempat itu, tapi aku malah menemui Anya. Dari semua orang yang kupikirkan bakal datang terlambat hari itu, tak sedikitpun aku berpikir soal Anya. Tatapan kami rasanya terkunci sebelum dia langsung duduk begitu saja. Begitu saja!

Kami tidak pernah bertemu, sejak kejadian di rumah Mona atau pun saat ujian sekolah. Aku besyukur dia menghilang dari pandanganku saat itu, tapi sekarang? ini seperti sambaran listrik tiba-tiba. Dia juga duduk tepat di sampingku. Aku masih bisa mendengar cengengesan dari arah belakang bis, bisikan-bisikan keras anak-anak terdengar. Mereka benar-benar menikmati untuk menertawaiku, di situasi itu. Bahkan siapapun bisa menyadari situasi kami. Dua orang yang seharusnya tidak bertemu lagi, tapi jika sudah begini aku tidak bisa menuruti hawa nafsuku untuk marah. Kenapa aku marah? Pada siapa? Untuk apa? Pikiranku memang menggila jika berada di dekatnya.

Lihat selengkapnya