Aku mencoba mengingat ucapanku mana kemarin yang membuatnya sakit hati hingga pergi bahkan saat semua orang tidak menyadarinya. Tapi aku sadar, tidak ada yang bisa menyakiti hati seorang Anya karena dia akan melakukannya lebih dulu sebelum orang lain melakukan itu padanya. Hatiku tidak sakit, tidak pernah. Saat aku bilang kecewa mungkin lebih tepatnya aku kecewa pada diriku sendiri karena tidak bisa mengubahnya seperti yang aku mau. Aku mungkin sudah terlalu percaya diri bahwa aku bisa mengubahnya, saat aku tidak bisa melakukannya satu-satunya yang menyakitiku adalah kepercayaan diriku ini.
Sejak hari itu, aku tak mendengar lagi kabar soalnya. Anya menghilang. Itulah keahliannya. Rumahnya kosong dan sudah berhari-hari tidak berpenghuni. Ayah-ibunya bahkan meneleponku dan menanyakan keberadaannya. Bahkan mereka juga tidak tahu Anya ke mana. Tidak ada teman yang bisa dihubungi. Sepanjang waktu itu, aku menutup telingaku seakan-akan tak pernah mengenalnya.
Kami memasuki kelas dua belas dan Anya juga tidak sekolah. Polisi mungkin sedang melakukan pencarian, tapi tidak ada bantuan yang bisa membantu mereka menemukan jawaban di mana Anya.
Ibunya setidaknya menghubungiku setiap dua minggu sekali apa aku mendengar kabar soal Anya atau aku melihatnya. Ibunya terkadang menangis di telepon cukup lama dan aku merasa tak enak jika harus mematikannya, jadi aku menunggu sampai dia selesai menangis.
Kemudian, aku dengar ibunya berhenti bekerja. Dia kembali meninggali rumah lama mereka yang biasa digunakan Anya dan mulai merawat rumah itu. Dia berharap di tengah malam Anya bakal datang mengetuk pintu rumahnya dan dia jadi orang pertama yang memeluknya.
Aku mulai berhenti menghitung berapa lama sejak Anya menghilang, setengah tahun atau mungkin sudah setahun. Aku masih memikirkannya, aku mempertanyakan di mana dia dan memikirkan segala tempat yang mungkin dia datangi. Diam-diam aku membuka sosial medianya, tapi sosial media itu sudah lama tidak digunakan.
Aku tak pernah tahu apa yang ada di dalam kepala Anya. Dia memenuhi kepalanya dengan teka-teki yang dia pikir orang bakal mengerti. Jika dia sedang melakukan sebuah permainan lagi, ini jelas sudah keterlaluan sekali.
Tepat setahun akhirnya berlalu, hari kelulusan menyambutku. Bagi semua orang, Anya Felda hanyalah sebuah nama. Seorang gadis cantik pernah bersekolah di sini, gadis yang bisa bertahan di sekolah tanpa seorang teman pun, gadis pendiam yang tak suka keramaian, yang membaca buku di pojok kelasnya, yang mendengar semua hasutan teman-temannya, tapi tak bereaksi apa-apa. Dia bilang dia akan pindah, entah maksudnya pindah ke mana. Ibunya juga sudah tidak pernah lagi menghubungiku sejak lama, jadi aku sedikit merasa lega.
Aku memasuki jurusan hukum dari universitas yang aku mau. Aku tinggal di Jakarta mengontrak sebuah rumah yang kuhuni bersama teman-temanku yang juga hidup di sana. Aku menjalani hidupku yang normal, bertemu seorang gadis yang cukup menarik. Kami saling dekat dan tertarik dengan satu sama lain. Hubungan kami perlahan mulai mengarah pada tahap yang serius.
Tiga tahun berlalu dan aku menikmati hidupku saat ini. Aku juga bekerja sambilan dan mulai menabung untuk masa depan. Hari-hariku kucoba lakukan dengan optimis dan bermanfaat. Masa depan serasa selangkah lagi di depan mata.
Tahun demi tahun berlalu aku menyadari ternyata kehidupan tidak semudah sewaktu SMA. Kali ini, tak sebentar pun aku berpikir untuk main-main dengan hidupku. Radit, dia juga kuliah di kampus yang sama denganku. Sesekali dia menghampiriku, dia selalu tahu tempat di mana harus menghampiriku. Kupikir, dia bakal mengajak nongkrong lagi seperti biasanya.
"Ada undangan," katanya tiba-tiba, diserahkan undangan itu padaku. Undangan dengan amplop berwarna merah hati. "Reuni SMA."
"Ah, malas. Aku sibuk," kataku, kuserahkan undangan itu lagi padanya.
"Ayolah, temani aku. Lagipula akhir semester kamu tidak pulang?"
"Belum tahu, sepertinya tidak."
"Kamu pikir beristirahat sebentar dari hidupmu bahkan mengacaukan hidupmu selamanya? Kita ini butuh istirahat, Sat. Ayolah, anak-anak ingin banget ketemu kamu, kamu juga nggak pernah muncul di grup."
"Jika bisa ngobrol di grup kenapa harus ada reuni?"
"Ck ck," Radit berdecak tak kuasa, "memangnya kita ini robot hanya bicara lewat HP?"
"Menurutku tidak ada bedanya," aku masih saja serius mengerjakan laporan tanpa menatapnya.
"Terserahlah, pokoknya sudah kusampaikan," Radit menepuk bahuku dua kali, "jika kamu berubah pikiran, kamu bisa pulang bareng aku. Kami bawa mobil, sabtu malam," ingatnya, aku hanya mengangguk tak antusias.
Sabtu malam masih ada yang harus kukerjakan. Kamarku di sini benar-benar mirip seperti gudang, aku bahkan tak sempat membersihkannya. Banyak teman-temanku dulu bilang kalau aku sudah banyak berubah. Aku mengenakan kaca mata dan aku lebih nyaman dengan rambut gondrong, benar-benar khas pelajar perantau yang aku tahu dulu.
Ponselku berbunyi dan kulihat nama ibu muncul di sana. Aku meringis, Radit pasti meneleponnya untuk membujukku pulang malam ini.