Introvert Star☆

EdpDian
Chapter #2

Gincu yang Hilang

Pagi-pagi betul Dyra sudah duduk di bangku nomor tiga dari belakang, di sisi kiri, tepat di sisi tembok. Bangku itu adalah bangku favorit Dyra, setiap kali ada kuliah di ruangan manapun maka ia akan selalu memilih tempat yang sama, bangku sebalah kiri dekat tembok urutan nomor tiga dari belakang. Bahkan Dyra sering kali rela berangkat lebih awal dari teman-temanya untuk menempati bangku itu. Namun setelah sekian lama, sepertinya semua teman sekelasnya jadi hafal, sehingga tak ada yang berminat menempati tempat itu. Sampai-sampai ketika ada kakak tingkat yang mengulang atau mengikuti kelas mereka, dan berniat untuk menempati bangku itu, maka akan selalu ada yang menegur. "Maaf Mbak atau Mas, bangku itu sudah dipesan orang." Padahal Dyra tak menitip kepada siapapun, sekedar berpesan dengan teman sekelasnyapun tidak pernah.

Satu demi satu siswa siswi memasuki ruang kelas, saat itu juga Dyra tolah-toleh mengikuti arah jalan. Siapapun yang berhasil muncul dibalik pintu hitam itu, maka dalam hatinya terbesit rasa khawatir, was-was jika orang itu justru menjadi boomerang untuknya.

Bangku demi bangku lambat laun mulai terisis. Ada yang sekali datang segerombolan orang, ada yang hanya dua tiga orang sambil ckikak-ckikik entah membicarakan apa, ada yang seorang diri bagai jomblo kesepian seperti Dyra biasanya. Beragam rupa dan gaya. Namun segerombolan itu adalah mereka kawanan anak gaul yang selalu memiliki bangku dipaling belakang, meskipun mereka gaul namun Dyra akui mereka orang-orang yang pintar-pintar dan aktif, setiap ada presentasi atau diskusi mereka akan bergilir membantai siapapun yang sedang berdiri kaku didepan kelas, cengiran khas meremehkan akan bersirat dari wajahnya. Dyra pernah sekali kena sasaran empuk kawanan itu, untung saja ia sudah menguasai materi yang dibawakanya. Jadi hanya ada perdebatan sengit yang berbobot. Tak hanya sekedar diam mematung dan audients disuruh menunggu karena pemateri sibuk mencari jawabanya saja.

Harap-harap cemas, jam masuk sudah semakin dekat, namun belum ada satupun yang menduduki bangku di barisan Dyra. “Apa kali ini akan gagal?” Itu pikiranya.

Ketika ada empat orang yang keluar di balik pintu hitam itu hati Dyra mulai mengembang lega, terlebih ketika mereka dengan perlahan berjalan kearah belakang. Empat bangku tersisa di sisi kanan Dyra itu pas untuk mereka. Mereka adalah kawanan orang-orang pendiam dan pandai. Setiap hal yang mereka ributkan selalu terikat dengan mata pelajaran dan hal-hal yang menyangkut dengan keilmuan, namun pupus sudah harapanya ketika mereka ternyata justru memilih duduk di barisan bangku depan Dyra.

Penantian panjang itupun akhirnya usai berasama dengan empat sekawan yang paling Dyra hindari dikelas ini. Kawanan tukang ghibah dan bermulut seribu. Yang dengan santainya duduk di bangku sisi Dyra tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Seketika itu pasokan oksigen terasa menipis, Dyra mampu mendengar suara gemuruh detak jantungnya yang berderu hebat, nyalinya menciut. Ia tak mungkin mundur dihari pertamanya berjuang.

Dyra menarik nafasnya dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen sebanyak mungkin, setelah dirasa penuh ia hembuskan perlahan sembari memejamkan matanya rapat-rapat. Aksi itu Dyra lakukan berulang-ulang kali, sayangnya bukanya tekatnya semakin kuat ini justru sebaliknya, semakin mengendur lemah dan semakin was-was. Terlebih ketika wanita yang tepat duduk di samping Dyra mulai melancarkan rutinitasnya, bergosip. Menatap dirinya di balik pantulan kaca bulatnya, sembari menancapkan ujung lipstick pada bibir tebalnya.   

“Aku wingi tah cah tuku gincu, durung tak enggo wes ilang. Aku kemarin kan, beli lipstick belum kupake udah hilang,” ujarnya tak jelas, bibirnya monyong-monyong meniup ujung kerudungnya agar berdiri.

“La mbok deleh endi? tibo paling Ke. Lah kamu taruh mana? Jatuh paling Ke.” Keke adalah nama si wanita kehilangan gincu, sedangkan yang menanggapi dan sedang membantu Keke memegang cerminya itu Ike. Sebelah Ike, Sindi dan yang paling ujung si cantik jelita yang paling pasrah dan pendiam, Mira. Mau diapakan dan dikata-katai semacam apapun dia hanya akan tersnyum senyum sambil menunduk malu-malu.

“Emboh, lali aku. Entah lupa aku,” jawab Keke.

Lihat selengkapnya