Introvert Star☆

EdpDian
Chapter #3

Si Gigi Gingsul

Pyuk..pyuk.

Suara ikan nila seukuran telapak tangan Dyra melompat kesana kemari, menepakkan ekor bulat lebarnya kepermukaan air, menciptakan suara kecipak-kecipuk mengiringi irama kawanan jangkrik yang berdendang riang di balik semak-semak pinggiran danau. Sesekali angin yang bertiup kencang menggoyangkan ranting-ranting pohon memberikan irama baru, menciptakan sebuah melodi indah, yang mampu memanjakan telinga.

Ikan berbadan lebar nan pipih itu berlarian layaknya bocah kecil di area pedesaan yang sedang bermain kejar-kejaran, sisik hitam legamnya nampak berkilauan ketika tak sengaja terkena sinar matahari sore. Dyra menekuk kedua kakinya, memeluknya dengan kedua tanganya layaknya kekasih yang tak ingin ia lepaskan. Selepas kata permisi yang terlontar di mulutnya tadi, Dyra melangkahkan kakinya ringan ke sisi barat kampus, melewati lorong-lorong labolatorium yang sepi dan gelap, mempertemukannya dengan pohon-pohon rindang hingga sampai di satu titik yang selalu menenangkankannya, danau kecil tepat dibagian terbelakang kampusnya. Duduk beralaskan rumput jepang tepat di bawah pohon rindang.

Hembusan angin sepoy-sepoy seketika menghantam wajahnya, menyibak kerudungnya hingga menutupi sebagian wajahnya. Membuat matanya sepontan tertutup rapat-rapat. Menghirup udara segar dalam-dalam dengan mulut yang sedikit ia buka. Merasakan setiap hembusan angin yang menusuk lubang hidungnya hingga masuk keparu-parunya.

Ini adalah tempat ternyaman kedua setelah kamar miliknya. Tempat ini adalah pelarian utama ketika ia penat dengan sagala macam permasalahn kampus. Dyra selalu rela menghabiskan berjam-jam waktunya untuk kembali mengecas energi yang terkuras habis karena satu dan lain hal. Memori otaknya tiba-tiba berputar lambat, memperlihatkan kisah demi kisah yang pernah ia lalui, air mata yang pernah ia tumpahkan hingga membuatnya merasakkan kesakitan yang begitu mendalam. Tanpa terasa, dengan lancangnya butiran bening melintas di pipi kananya, membuat Dyra sepontan semakin mengeratkan kakinya, menekan dadanya kuat-kuat.

“Jika pertanda kesejukan malam adalah embun di pagi hari, maka tetap bertahan dikala keputusasaan adalah jawaban yang tepat untuk menggambarkan kesungguhan hati,” ujar Dyra lirih, pandanganya menerawang ketengah-tengah danau.

“Jika di balik kebencian masih ada sebersit kerinduan, maka masih akan selalu ada harapan bagi setiap orang yang mampu bersabar.”

Sepontan Dyra mendongakkan kepalanya, suara lembut khas seorang yang begitu Dyra kenali kini berganti dengan suara krasak-krusuk kain yang saling bergesekan karena pria itu duduk dengan posisi sama seperti Dyra, kakinya sedikit ia renggangkan menatap lurus kearah depan dengan wajah datar.

Hembusan angin menyibak helaian rambutnya hingga menampakkan keningnya. Terkadang sudut bibirnya tertarik tipis-tipis membuat Dyra penasaran dan mengikuti arah pandang pria itu yang ternyata tengah mengamati kawanan ikan nila yang sedang kejar-kejaran.

“Terkadang hidup itu seperti gelombang air laut, guncangan demi guncangan terjadi hingga siapapun yang berada diatasnya merasa was-was,” ia diam sesaat, Dyra masih mengamati kawanan ikan nila. Terkadang tiga ikan nila sekaligus hingga melompat kepermukaan air. “Namun terkadang juga seperti tenanganya air danau, meskipun ada guncangan yang terjadi karena aktivitas mahluk di dalamnya namun guncangan itu hanya sebagai pemanis semata,” lanjutnya.

Dyra sebenarnya belum paham kemana arah pembicaraan ini, namun ia masih ingin mendengar kelanjutanya.

“Kadang senang, kadang sedih, kadang bosan dan jenuh. Itu hal yang paling mendasar dalam hidup, itulah hidup. Hakikat kehidup berbanding lurus dengan masalah, masalah berbanding dengan SABAR, itulah solusinya,” ia hingga menekan kata sabar untuk memperjelas.

Lihat selengkapnya