Dalam situasi menginap bersama di sekolah kali ini, ruangan yang digunakan untuk tidur adalah ruang kelas 1-B di lantai 1 untuk para anggota laki-laki dan ruang klub basket yang letaknya tidak jauh dari sana untuk para anggota perempuan. Sebenarnya, alasan Hibiki mengajak Nao kali ini, selain karena memang butuh bantuan untuk menjalankan program latihan ketat, juga karena ia tidak ingin menjadi satu-satunya murid perempuan yang berada di sana.
Setelah menggelar futonーalas tidur tradisional Jepang, akhirnya Hibiki dan Nao membaringkan badan mereka dengan perasaan lega telah menyelesaikan tugas mereka hari ini.
“Selamat tidur”, sahut keduanya sambil memejamkan mata, berusaha merelaksasi tubuh mereka setelah seharian beraktifitas. Namun, sekelumit tugas mereka kembali terlintas dalam pikiran. Keduanya tiba-tiba membuka mata dan bangkit dari posisi tidurnya. “Ah! Aku melupakan sesuatu!” seru keduanya bersamaan.
“Eh?” Nao menatap Hibiki.
“Aku belum mengerjakan laporan klub hari ini!”, Hibiki keluar dari futon dan merogoh tasnya untuk menemukan buku laporannya. Ia selalu membawa buku itu setiap hari. Biasanya ia selalu menulis laporan setiap selesai latihan, tetapi karena cukup banyak yang dikerjakan hari ini, ia melupakannya. Hibiki membuka tutup pulpennya dan mulai menulis. Namun, kemudian terhenti dan menatap Nao. “Apa kau juga melupakan sesuatu?”
“Oh! Aku belum mengambil handuk..” aku Nao. Setelah selesai latihan sore tadi, mereka mencuci dan menjemur handuk kecil yang digunakan oleh para anggota klub di atap. Seharusnya beberapa jam saja sudah kering. Tidak mungkin handuk itu dibiarkan saja sampai besok, jika hujan turun, semuanya akan percuma.
“Mau kuantar?” tanya Hibiki.
Nao memperhatikan buku laporan yang dipegang Hibiki sesaat, kemudian menggelengkan kepalanya. “Tidak usah. Kau lanjutkan saja menulis laporan. Aku pergi dulu.” Nao segera keluar dari futon dan mengenakan jaket tipis tanpa resleting di atas piyama musim panasnya berlengan pendek.
***
Nao berjalan menaiki tangga menuju atap sekolah dengan bantuan flashlight di smartphone-nya untuk melihat pijakan. Bukanlah hal yang menyenangkan berjalan seorang diri di sekolah yang sunyi pada malam hari tentunya, namun ia pun tidak ingin merepotkan sahabatnya untuk menunda menulis laporannya yang lebih penting. Tidak ada pilihan lain. Semoga tidak ada hal yang aneh.
KRIIT
Nao membuka pintu menuju ke atap. Ia berjalan mendekati jemuran-jemuran handuk yang dibentangkan dengan tali yang diikat pada pagar besi pada sisi kanan dan kiri. Secara berurutan ia mengambil handuk-handuk tersebut. Namun, tidak berapa lama kemudian, ia tersontak.
UHUK UHUK
Nao sangat terkejut dan mengawasi sekelilingnya. “Si.. Siapa itu?”
“Aku.”
Nao segera mengarahkan flashlight smartphone-nya menuju sumber suara di bangku samping kanannya. “Nagase-kun, apa yang kau lakukan di sini?”
“Tidur, apa lagi?” jawabnya dengan posisi masih terbaring di bangku.
“Eh? Tapi ruang tidur untuk anggota laki-laki di kelas..”
“Aku tidak bisa tidur karena mereka berisik.”
Seperti biasa, murid laki-laki memang tidak kalah heboh dari perempuan saat berkumpul, membuat lawakan-lawakan atau bergosip tentang murid perempuan di sekolah. Apa lagi yang dibicarakan oleh pemuda-pemuda di saat seperti ini?
“Tapi, udara di luar tidak baik untuk..”
“Iya, iya, aku mengerti. Aku akan kembali nanti.”
Nao mengangguk, lalu mengambil handuk-handuk lainnya yang masih tergantung.
“Ehm.. maaf soal perkataanku tadi”, sahut Nao mengungkit tentang pembicaraan mereka di lapangan. “Itu adalah pemikiranku saat SMP. Kekalahan dalam pertandingan menjadi hal yang sangat biasa, bahkan semua masih bisa tertawa dan tebar pesona di depan murid-murid perempuan. Mereka tidak sungguh-sungguh bermain. Saat itu, aku merasa sangat muak dan keluar dari klub basket..” Pembicaraannya terhenti sejenak ketika memori masa lalunya kembali muncul dalam ingatannya.
“Lalu?”
“Tapi.. setelah aku mengikuti kegiatan bersama kalian hari ini, aku sadar bahwa mungkin tidak semua anggota klub basket SMA Taitou seperti yang kubayangkan. Selama aku menjadi manajer di acara menginap ini, aku akan lebih memperhatikan semuanya dengan sungguh-sungguh. Mohon bantuannya.” Nao membungkukknya badannya pada Riku. Laki-laki yang mengenakan parka abu-abu dan celana selutut berwarna biru tua itu bangkit dari posisi tidurnya, lalu berjalan mendekati Nao.
“Bintang malam ini indah, ya..”
“Eh?” Nao kembali menegakkan badannya dan menyadari bahwa Riku telah berada di hadapannya sambil memandang ke arah langit.
“Temani aku sebentar.” Kemudian ia duduk begitu saja.
Nao pun meletakkan keranjang handuk di sebelahnya dan duduk di samping Riku. Kedua tangannya memeluk lutut, lalu ia mengangkat dagunya menatap langit. “Ehm, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Apa?”
“’Ayo, melihat kembang api bersama!’, apa kau tahu tentang tulisan ini?”
Riku tetap terdiam memandang ke atas.
“Ah, tidak, lupakan saja. Maaf, menanyakan hal yang aneh.”
Mungkin saja itu adalah ulah murid lain yang iseng menyelipkan kertas di dalam penghapusnya. Tidak mungkin ia menulis hal yang feminin seperti itu.
“Jadi, kau sudah membacanya, ya..”
“I.. Iya”
Ternyata benar, itu adalah tulisannya.
“Saat SD, ibu selalu menyemangatiku saat bermain basket. Aku bisa melihat wajahnya yang berseri-seri saat aku berhasil mencetak poin. Aku sangat menyukai senyumnya. Bagiku, ibu adalah wanita paling cantik di dunia saat ia tersenyum. Karena itu, aku terus bermain basket dan berjanji akan membawanya ke Winter Cup. Sebagai balasannya, untuk menyemangatiku, setiap tahun saat musim panas, ia selalu mengajakku menonton festival kembang api bersama.
“Lalu.. bukankah lebih baik kau pergi menonton kembang api bersamanya?”
Riku menundukkan kepalanya, “Ibu yang kuceritakan barusan sudah meninggal saat aku kelas 1 SMP karena kecelakaan. Ayahku menikah lagi dengan ibuku yang sekarang.”
Nao pun agak terkejut mendengarnya. “Maaf.”
Riku membaringkan badannya ke belakang. “Apakah aku bisa mencetak banyak poin dan sampai di Winter Cup tahun ini..?” Ia merentangkan tangan kanannya ke atas seperti ingin menggapai bintang. Ya, menjadi juara Winter Cup—ajang kompetisi basket nasional antar SMA di Jepang—adalah impian semua pemain basket. Namun, impian itu bukanlah sesuatu yang mudah digapai, sama seperti bintang yang jauh di angkasa. Tim basket sekolah dari seluruh penjuru Jepang memperebutkan posisi ini.