Invisible Love

Natsume Risa
Chapter #3

Dua Murid Populer

2 minggu berlalu sejak hari pertama sekolah. Berkat mengikuti klub jurnalis, hari-hari yang Nao lewati di SMA Taitou selalu menarik. Setiap pulang sekolah ia selalu pergi ke klub jurnalis, baik ada kegiatan maupun tidak.

Selain bersama sabahatnya --Hibiki-, ternyata anggota klub jurnalis pun ramah-ramah dan asyik untuk mendiskusikan berbagai hal, tidak hanya seputar ilmu jurnalistik. Justru dari mendiskusikan hal-hal di luar itu, terkadang bisa memunculkan ide-ide menarik untuk menulis artikel mingguan sekolah. Bahkan seorang Kojima Mako yang selalu menunjukkan ekspresi yang datar, saat di klub jurnalis ia menjadi teman yang baik untuk berdiskusi tentang sejarah, hal yang juga sangat disukai Nao.

Sambil berdiri dan memutar-mutar miniatur bola dunia yang terpajang di rak klub jurnalis, Mako memulai pembicaraan. “Bukankah Oda Nobunaga* itu sangat jenius? Dia langsung mengerti kegunaan dari bola dunia, padahal di Jepang saat itu belum muncul teori bahwa bumi itu bulat.”

“Benar juga. Kalau tidak salah, dia juga mempunyai benda-benda lainnya yang tidak umum digunakan pada masa itu, seperti peta dunia dan jam.” Kumada Saki, kakak kelas gemuk di klub jurnalis itu membenarkan. Ia menghentikan aktifitas mengetiknya sejenak karena terpancing dengan topik pembahasan dari Mako.

“Sepertinya Oda memang terbuka dengan budaya Barat.. Dia juga selalu mengenakan baju pelindung ala Barat saat perang”, komentar Nao.

“Benar! Bahkan dia juga mengangkat orang dari Barat untuk menjadi penasihat pribadinya! Bukankah itu sangat keren?” Mako sudah tidak bisa menahan dirinya untuk terlibat lebih jauh dengan obrolan ini. Ia berjalan dengan kecepatan kilat dan duduk di antara Nao dan Saki.

“Ningen gojunen, keten no uchi o kurabureba mugen no gotoku nari (umur manusia hanya lima puluh tahun, di dunia yang fana ini, hidup seperti mimpi)…”, Saki mulai menyanyikan sebuah lirik lagu yang sering dinyanyikan Oda.

Mendengar itu, Mako dan Nao tersenyum dan mengikuti nyanyiannya. “…hitotabi sei o uke, messenu mono no aribeki ka (setiap kali dilahirkan, adakah manusia yang tidak mati),” Nao bahkan menyanyikannya sambil menirukan tarian tradisional Jepang dengan tubuh kakunya, seolah ia adalah seorang tokoh utama dari teater Kabuki*.

Setelah menyelesaikan lirik itu, Nao kembali duduk sambil memangku wajah kecilnya dengan tangan, “… Dari mana asalnya kejeniusan itu muncul? Bahkan katanya, para pengikutnya juga tetap tidak mengerti kegunaan dari benda-benda dari Barat itu walaupun sudah dijelaskan berkali-kali oleh Oda. Sungguh, aku ingin mewarisi kejeniusannya..” sambung Nao, membuat seisi ruang klub yang pada saat itu hanya ada mereka bertiga, penuh dengan tawa.

Pintu ruang klub bergeser, Ryusei berjalan masuk dan menaruh tas dan kamera di mejanya sambil memperhatikan mereka bertiga.

Kemudian ia duduk di meja dan membersihkan lensa kamera dengan tool kit-nya. Ia bertanya penasaran, “…lalu, apa yang kalian tertawakan?”

“Shizuhara-san ternyata orang yang sangat menarik, dia sangat lucu, hahaha..” jawab Mako sambil tertawa. “Benar, ‘kan?”, lanjutnya meminta persetujuan Saki.

“Benar, haha..”

“Benarkah? Aku pikir juga begitu. Syukurlah, kalian sudah akrab.” Ryusei tersenyum, kemudian lanjut membersihkan lensa kameranya.

Nao tidak bisa menahan senyum yang kembali mengembang di wajahnya setiap kali melihat Ryusei. Ia memperhatikan wajah serius dan jari-jari tangannya memperlakukan kamera sebagai benda berharga yang dirawat dengan hati-hati. Saat jatuh cinta, bukankah rasanya semua yang dilakukan oleh orang yang disukai terlihat keren, ataukah ini hanya perasaannya saja?

Sepasang mata memperhatikan mereka, seolah menganalisis apa yang sedang terjadi di antara Nao dan Ryusei.

*Oda Nobunaga : seorang daimyo Jepang yang hidup pada jaman Sengoku hingga jaman Azuchi-Momoyama

*Kabuki : teater tradisional Jepang

***

Menjelang ujian semester musim panas, kegiatan klub sudah mulai berkurang. Semua mulai sibuk mempersiapkan ujian. Ada juga yang bahkan sudah jauh merencanakan rencana kegiatan untuk liburan musim panas yang panjang.

“Nao, apa kau sudah punya rencana untuk liburan musim panas nanti?” Hibiki menyantap roti yang ia beli di kantin untuk makan siangnya sambil duduk menghadap belakang, menghadap meja Nao.

“Aku belum memikirkannya. Yang ada di pikiranku saat ini hanyalah bagaimana aku bisa melewati ujian semester dengan nilai yang cukup, supaya tidak perlu ikut pelajaran tambahan saat liburan musim panas..”, jawabnya sambil menyantap makanan dari bekal makan siangnya dengan lesu. Mengingat 2 minggu ke depan akan diselenggarakan pekan ujian semester, membuat Nao kehilangan nafsu makannya. Belum lagi membayangkan seisi liburan panjangnya hanya didedikasikan untuk belajar mata pelajaran yang membosankan jika nilai ujian semesternya di bawah rata-rata.

“Benar juga.. Bagaimana kalau kita belajar bersama?”

Lihat selengkapnya