Nao menggeser pintu ruang klub jurnalis. Minggu depan memang ujian semester akan dimulai dan hampir sudah tidak ada kegiatan klub yang masih berjalan, tetapi seperti sudah menjadi kebiasaannya. Rasanya kakinya berjalan sendiri dan mengantarnya hingga ke ruang klub. Bagaimanapun, saat ini hanya tempat inilah yang bisa menenangkan pikirannya dari situasi di sekitarnya yang cukup mencengangkan.
“Oh, Shizuhara-san?” Ryusei sedikit terkejut dengan kedatangan Nao. Ia duduk di meja paling pojok menghadap keluar jendela.
“Senpai?”
Kini, mereka sama-sama terkejut dan tidak menyangka akan bertemu di ruangan itu.
“Aku.. hanya ingin menenangkan diri sebentar di sini, lalu pulang”. Nao melangkahkan kakinya memasuki ruangan dan duduk di salah satu kursi paling tengah.
“Ya, silahkan.”
Kini mereka terjebak dalam situasi yang awkward karena tidak ada anggota lain di ruangan itu, kecuali mereka berdua. Niatnya untuk menenangkan diri berubah total, saat ini ia benar-benar tidak tenang –lebih daripada menemukan 2 murid populer di sekolah yang berpacaran diam-diam ataupun diajak pergi ke goukon*-. Topik apa yang baik untuk memulai pembicaraan? pikirnya.
Sementara Nao sedang memutar keras otaknya, Ryusei lebih dulu membuka pembicaraan. “Sepertinya kau sering mengobrol dengan Saki”
“Iya, Kojima-san juga, kami sering mengobrol saat waktu luang di sini. Terkadang aku tidak begitu mengerti saat membicarakan topik yang berat, tapi kami menjadi sangat kompak jika membicarakan tentang sejarah. Aku ingin lebih banyak mengobrol dengan mereka”
“Syukurlah.. Aku mengkhawatirkan mereka berdua, karena mereka jarang sekali bisa akrab dengan orang yang baru dikenal. Karena itu, mereka tidak punya teman”
Raut wajah Ryusei berubah menjadi serius. Matanya menatap keluar jendela.
“Kami berasal dari SMP yang sama, di kota kecil di pinggiran Niigata. Kojima sering dianggap sombong oleh murid lain karena selalu menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya. Sementara itu, karena penampilannya, Saki juga sering di-bully. Bahkan, namanya sendiri sering dijadikan objek bully”
Ternyata mereka bukan berasal dari Tokyo, pikir Nao. Dengan semua kesan yang mereka berdua timbulkan terhadap orang-orang di sekitarnya saat ini pun, sudah bisa dibayangkan bagaimana kehidupan mereka di sekolah sebelumnya. Beruntung, di sekolah ini, di Tokyo yang modern saat ini, pem-bully-an sudah tidak se-ekstrim yang orang-orang bayangkan, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa hal-hal kecil yang tidak terduga bisa saja terjadi. Akhirnya ini menjawab satu pertanyaan Nao tentang Saki yang selalu dipanggil ‘Kuma*’ oleh murid-murid lainnya, termasuk anggota klub jurnalis pun.
“…karena itu, aku senang kau bergabung dengan kami di klub ini.” Ryusei berjalan mendekati Nao. Ia membungkukkan badannya sedikit agar tingginya setara dengan Nao yang sedang duduk. “Kau bisa menghidupkan suasana di sekelilingmu. Kau juga mau berteman dengan Saki dan Kojima, Terima kasih”
Katanya lagi sambil tersenyum dengan lembut pada Nao. Hati Nao kini berdegup dengan kencang melihat senyuman itu dari jarak sedekat ini. Ia bersyukur telah jatuh cinta dengan laki-laki yang begitu baik dan sangat memperhatikan orang-orang di sekitarnya seperti Ryusei. Lagi-lagi, Nao mengembangkan senyuman bodoh di wajahnya, senyuman orang yang sedang mabuk cinta. Mereka saling memandang satu sama lain untuk sesaat, sebelum ada murid lain yang tiba-tiba menggeser pintu ruang klub.
“Saki, piketmu sudah selesai?”, tanya Ryusei.
“Ya. Aku ingin mengambil buku catatanku yang tertinggal”
Saki segera mengambil buku catatannya yang tertinggal di laci meja yang sering ia duduki, lalu berjalan keluar ruangan.
“Baiklah, ayo kita pulang.” Ryusei hendak mengambil tas di bangkunya.
“Tidak, kau pulang duluan saja. Aku akan mampir ke perpustakaan dulu untuk belajar”, jawab Saki tanpa membalikkan badannya.
“Kalau begitu, ayo kita belajar bersama”, usul Nao.
“Aku ingin belajar sendiri”
Saki melangkahkan kakinya dengan cepat keluar ruangan dan pergi meninggalkan mereka berdua kembali dalam keheningan.
“Jangan dipikirkan. Kadang dia memang lebih suka belajar sendiri untuk memahami semuanya dengan baik”, sahut Ryusei memecah keheningan.
Meskipun Nao agak aneh dengan sikap Saki yang agak dingin, tetapi penjelasan dari Ryusei cukup masuk akal. Memang ada orang-orang yang justru tidak bisa konsentrasi dengan baik jika belajar bersama orang lain.
“Ayo pulang”, lanjutnya lagi sambil membawa tas.
Nao menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ke arah Ryusei. Ternyata, tempat ini memang tempat terbaik untuk menenangkan diri, pikir Nao. Setidaknya ia bisa melihat senyum Ryusei yang membuat hati dan pikirannya menjadi tenang.
*Goukon : kencan buta yang diikuti oleh pria dan wanita dalam jumlah yang sama dan tidak saling mengenal satu sama lain
*Kuma : bahasa Jepang yang berarti beruang