“Akhirnya kau berhasil memanggilnya dengan benar, bahkan dengan suara yang keras dan lantang”, sahut Nao membuka percakapan dengan Ryusei di atap sekolah. Ia berjalan menghampiri Ryusei yang sedang memotret pemandangan area lapangan yang beberapa saat lalu digunakan untuk festival olahraga. Masih ada beberapa murid di bawah sana yang bergotong-royong mendorong bak besar berisi peralatan olahraga menuju gudang.
“Oh, Shizuhara-san. Yah, sepertinya begitu..” Ryusei tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya.
“Daisuka na hito (orang yang disukai), ‘kan? Bukan osananajimi (temen sejak kecil)”
“Eh? Darimana kau tahu?”
Ekspresi panik terlihat di wajah Ryusei. Kemudian Nao tertawa kecil.
“Aku mendengarnya dari Kumada-senpai. Ia menemukan kertas itu saat terjatuh dari sakumu.”
“Benarkah? Gawat..”
Ryusei langsung mengecek saku celana belakangnya yang kosong. Padahal ia ingat benar sudah melipat dan memasukkan kertas itu ke dalam sakunya saat akan berlari.
“Kau tahu, sebenarnya alasan bahwa aku sangat suka memotret tidak sepenuhnya benar. Dulu waktu kami kecil, Saki pernah berkata ingin menjadi jurnalis yang menyampaikan berita baik dari seluruh dunia untuk membuat semua orang bahagia. Aku sangat mendukung impiannya. Karena itu, aku belajar menjadi seorang fotografer jurnalis. Suatu hari nanti, saat dia sudah menjadi seorang jurnalis hebat, aku ingin berada di sampingnya dan menyaksikannya langsung”, jelasnya sambil tersenyum lembut mengutarakan impiannya.
Cukup. Seharusnya laki-laki ini tidak mengatakan hal yang tidak ingin ia dengar, hati kecil Nao berbicara. Nao mendorong tubuh Ryusei menuju pintu tangga darurat sambil berkata, “Kumada-senpai menunggumu di ruang klub.”
“Apa?! Tunggu! Hei!” Ryusei semakin terkejut mendengar hal itu. Bahkan ia belum mempersiapkan apapun untuk menemui Saki setelah kebohongannya terbongkar.
“Tidak baik membuat seorang gadis menunggu lama”
Nao menghentikan langkahnya tepat di depan pintu darurat. Ryusei pun berbalik menghadapnya.
“Semoga berhasil”, ucap Nao sambil tersenyum.
“Kau ini.. Tapi, terima kasih.” Akhirnya ia mulai santai dan tersenyum.
“Aku harus mendengar kabar gembira darimu”
Ryusei menganggukkan kepalanya lalu membuka pintu, “Kalau begitu, sampai bertemu nanti.” Kemudian ia berjalan turun.
“Ya”, jawab Nao. “..sayonara (selamat tinggal)”, gumamnya kemudian dengan suara lirih. Kedua matanya mulai berair mengantar kepergian orang yang ia sukai.
Nao menutup pintu tangga darurat dan berjalan dengan agak pincang menuju ke pinggir. Ia mendekat ke pagar balkon pembatas dan meraih rongga-rongga pagar besi di depannya.
“Seperti orang bodoh..” gumam Nao. Hati ini seenaknya saja berharap. Mereka sudah bersama sejak lama. Bukankah hubungan mereka begitu dalam, lebih dari yang ia tahu?
Nao mulai terisak. Air mata mulai membasahi pipinya. Perlahan ia membungkukkan badannya hingga ke posisi jongkok. Ia membenamkan kepalanya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang pergelangan kaki kirinya.
“Sakit sekali..”
Mengapa rasa sakit seperti ini harus datang secara bersamaan? Dirinya bahkan tidak tahu apakah ia menangis karena patah hati atau menangis karena rasa sakit di pergelangan kaki kirinya yang muncul kembali. Kalau saja air mata yang mengalir deras ini bisa mengurangi semua rasa sakit yang ia rasakan saat ini…
***
Ryusei menggeser pintu ruang klub jurnalis.
“Hmm.. maaf membuatmu menunggu” sahut Ryusei sambil membungkuk. Napasnya masih terengah-engah sehabis menuruni tangga dari atap sekolah menuju ruang klub jurnalis di lantai 1. Saki yang sedang duduk dengan tenang sambil membaca buku tentang ilmu jurnalistik sedikit mengernyitkan keningnya.
“Menunggu?”
“Tapi.. Shizuhara-san tadi mengatakan padaku bahwa kau sedang menungguku di sini.”
Saki terdiam sejenak sambil melemparkan pandangannya ke arah lain. Ternyata Nao telah merencanakan semua ini.
“Tentang kertas itu.. aku ingin mengatakan sesuatu padamu..” Ryusei berjalan perlahan mendekati Saki. Ia menatapnya dengan serius.
***
“Air dingin tidak akan membuat cidera lama membaik. Peredahan darah menjadi tidak lancar dan otot-otot di sekitarnya menjadi kaku. Air dingin memang baik untuk luka cidera baru, tetapi jika cidera sudah berlangsung lama, lebih baik kau mengompresnya dengan air hangat.”
Nao sedikit mengangkat wajahnya. Sepertinya barusan ia mendengar suara seseorang, tetapi ia tidak melihat siapapun. Nao mengedarkan pandangannya lebih luas ke sekeliling, mencari sumber suara tersebut.
“Kakimu masih terasa sakit, ‘kan?”
Riku bangun dari posisi tidurnya di bangku panjang tepat di samping dinding bangunan pintu darurat. Nao langsung berdiri dan menghapus air matanya dengan sapu tangan yang selalu ia bawa di saku roknya.
“Tidak. Sejak kapan kau berada di sana?”
“Sejak istirahat siang, setelah bertemu denganmu”