Invisible Love

Natsume Risa
Chapter #10

Coffee Blend Untukmu

Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, sebentar lagi seluruh kegiatan klub di sekolah akan selesai. Setelah beristirahat dan ‘membenahi’ hati dan pikirannya di atap sekolah, Nao akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia tidak ingin berpapasan dengan bubaran para anggota klub jurnalis. Ryusei bahkan sudah pulang sejak beberapa saat yang lalu.

Meluapkan emosi dan mengatakan hal yang menurutnya cukup hebat secara langsung di depan Ryusei, ternyata membuat beban di hatinya sedikit terangkat. Ia tidak menyangka bahwa dirinyalah yang akan mendorong Ryusei sekuat tenaga bersama Saki. Sudahlah, lagipula sudah tidak mungkin ada tempat bagi Nao dalam hatinya. Ia berharap, waktu perlahan akan menghapus perasaannya untuk Ryusei.

Ketika sampai di lobi sekolah, Nao melihat Riku sedang berdiri menyandarkan punggungnya pada dinding rak sepatu paling ujung sambil bermain game online di smartphone-nya. Sepertinya klub basket sudah lebih dulu selesai kegiatan klub. Lagi-lagi, mengapa ia harus bertemu dengan orang yang tidak ingin ia temui saat ini?

Nao melirikkan matanya sedikit ke arah laki-laki dengan tas selempang Adidas itu. Ia berusaha berjalan melewatinya dengan jarak yang agak jauh, berharap Riku tidak menyadari keberadaannya. Namun, ternyata tidak berhasil. Pandangan mereka bertemu. Nao segera mempercepat langkah menuju lokernya.

Sambil mengganti sepatu, ia berpikir, sampai kapan ia harus terus menerus menghindar seperti ini supaya tidak bertemu orang-orang? Padahal dirinya tidak melakukan kesalahan. Tidak, jelas-jelas dalam kasus kali ini, dirinyalah yang bersalah karena telah membentak Riku. Tetapi, itu memang karena kondisi emosinya sedang tidak stabil, makanya perasaannya menjadi lebih sensitif. Tidak baik terus-menerus berada dalam kondisi seperti ini. Ia harus menghadapi semuanya supaya kehidupannya bisa kembali damai.

“Apa.. kau sedang menunggu seseorang?” sapa Nao sambil mengembalikan sepatu dalam ruangannya ke dalam loker.

“Ya”

Pasti Mako, pikirnya. Kemudian Riku berhenti bermain game dan memasukkan smartphone ke dalam saku celananya. Sepertinya lagi-lagi ia mengganggu aktifitas bermain game-nya, pikir Nao. Waktu itu, ia melemparnya dengan sapu tangan, bisa saja kali ini Riku memukulnya. Tapi, ia harus minta maaf pada Riku. Nao menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap laki-laki itu saat ini.

“Ehm.. saat di atap sekolah waktu itu, aku ingin minta ma..”

Tiba-tiba pandangannya terhalang sebuah kain yang diletakan oleh Riku di atas kepalanya. Nao mengangkat kepalanya dan meraba kain tersebut.

“Setelah kartu pelajar, lalu sapu tangan. Tolong jangan seenaknya meninggalkan barang-barangmu. Lain kali, aku tidak akan berbaik hati mengembalikannya padamu.” Kemudian Riku berjalan pergi begitu saja keluar gedung sekolah.

Potongan kain ini jelas adalah sapu tangan yang waktu itu ia lempar kepada Riku. Sapu tangan berwarna hijau muda dengan motif jejak kaki kucing. Bahkan ia mengembalikannya dengan kondisi bersih dan wangi. Apa ia mencucinya? Berbagai pertanyaan mulai menghinggapi pikiran Nao.

Mengapa ia langsung pulang padahal belum bubaran klub jurnalis? Jadi ia tidak menunggu Mako? Terlebih lagi, ternyata yang memungut kartu pelajarnya waktu itu–dan membuat dirinya dipanggil menggunakan pengeras suara yang terdengar di seluruh sudut sekolah—adalah Riku?

***

Memasuki bulan November, cuaca di Jepang perlahan menjadi dingin, terutama pada pagi dan malam hari. Seperti yang baru saja disampaikan oleh peramal cuaca di televisi pada hari minggu yang cerah ini. Walaupun siang ini, suhu berada pada 19 derajat, malam nanti diramalkan akan turun hingga 9 derajat. Namun, dengan segala teknologi penghangat udara modern yang ada saat ini, tentunya orang-orang sudah tidak lagi merisaukan cuaca dingin. Ayah, Ibu, dan Hibiki saat ini pun sedang berkumpul di ruang tengah dan menghangatkan kaki mereka dalam kotatsu*.

“Apa kita masih punya persediaan kairo*?” tanya ayah Hibiki sambil meneguk sake*-nya.

“Bukankah kau sudah menempel lembar terakhir di punggungmu saat ini?”

Jawaban dari istrinya sontak membuat ia berhenti meneguk sake. Banyak orang yang ketergantungan menggunakan kairo, seperti sudah menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Termasuk ayah Hibiki yang biasanya selalu menempelkan kairo pada punggung dan telapak kakinya setiap saat selama musim dingin untuk menjaga suhu tubuhnya tetap hangat.

“Hibiki, belikan ayah kairo”

“Ehh..” Hibiki mengeluarkan nada mengeluh. Ia tidak ingin mengeluarkan kakinya dari dalam kotatsu yang sangat nyaman ini.

*Kotatsu : meja traditional Jepang dengan penghangat listrik pada bagian bawah meja, dan ditutupi oleh selimut tebal

*Kairo : merek terkenal untuk stiker penghangat yang ditempelkan pada pakaian atau bagian tubuh

*Sake : Arak Jepang

***

Jarak dari rumah Hibiki ke minimarket sekitar 10 menit menggunakan sepeda. Hoodie coklat muda dan celana putih hitam bermotif kotak-kotak melengkapi gaya santainya siang ini. Gaya rambut panjang yang dikepang ke samping menghindarinya dari terpaan angin saat menggowes sepeda yang akan membuatnya kusut.

Matanya lagi-lagi melirik sebuah bangunan tua di perempatan jalan yang selalu ia lewati ketika pergi ke minimarket. Didominasi warna coklat tua dengan gaya klasik ala eropa tahun 70an, bangunan itu selalu berhasil menarik perhatiannya. Bangunan tua itu adalah sebuah coffee shop bernama Let It Be. Meskipun penasaran dengan atmosfer di dalamnya, namun ia belum memiliki waktu yang tepat untuk mengunjunginya.

Sepulang dari minimarket, Hibiki memutuskan untuk mampir ke coffee shop tersebut. Ia ingin mengobati rasa penasarannya selama ini. Lagipula kairo bukanlah hal mendesak yang akan segera dipakai. Paling-paling ayahnya akan memakainya nanti malam.

Hibiki memarkirkan sepedanya dan berdiri memaku di depan pintu masuk coffee shop. Ia memerhatikan segala sudut bangunan tersebut sambil menikmati aroma khas kopi dari dalam yang tercium sampai ke tempatnya berdiri sekarang ini.

Lihat selengkapnya