Invisible Love

Natsume Risa
Chapter #12

Adik Kelas

Konon katanya, permohonan yang ditulis menggunakan kuas dan tinta di atas sebuah papan kayu kecil berbentuk persegi panjang—yang dikenal dengan ema—lalu digantung pada papan besar yang disediakan di halaman kuil, akan diantar oleh kuda sebagai kendaraan suci untuk dikabulkan para dewa langit. Banyak orang kini berkumpul untuk menulis permohonannya di atas ema. Tentu saja Hibiki dan Nao tidak pernah ketinggalan untuk urusan seperti ini. Dengan serius, Hibiki menulis permohonannya.

“Mengapa perempuan selalu menyukai hal-hal seperti ini?” Nanamiya menyilangkan kedua tangannya sambil mengamati ribuan ema yang tergantung di depan matanya.

“Kau ini.. apa kau tidak mempunyai harapan? Tolong tenanglah sedikit, kau sudah menggangguku saat berdoa di kuil tadi, jadi biarkan aku menulis permohonanku di sini” balas Hibiki masih dengan serius mengukir huruf-huruf Jepang di atas ema.

“Harapan, ya? Lalu, apa yang kau tulis?” tanya Nanamiya sambil mendekatkan kepalanya berusaha membaca tulisan Hibiki.

“Jangan lihat!” Ia panik dan sontak menutupi ema dengan kedua tangan dan mengangkat kepalanya hingga tidak sengaja membentur kepala Nanamiya. Mereka berdua sontak memegangi kepala mereka yang terasa sakit.

Walaupun Nanamiya selalu mengganggunya, tampaknya Hibiki cukup sabar dan tidak keberatan dengan itu. Mereka benar-benar menikmati hari ini dengan baik.

Nao memerhatikan mereka berdua dengan tatapan sinis. “Lihat saja kau, Nanamiya. Sekali saja, aku lihat Hi-chan menangis, aku akan buat perhitungan denganmu”, gumam Nao. Tentu saja, waktu berharga yang biasanya ia habiskan bersama sahabatnya, kini tergantikan oleh posisi Nanamiya.

“Tintanya kering”, sahut Riku yang berdiri di sampingnya. Sedari tadi ia juga hanya berdiri di sana bersama Nao. Suasana penuh keakraban antara Nanamiya dan Hibiki membuat seolah tidak ada orang lain di sana selain mereka berdua. Ia tidak ingin berada di dekat manusia-manusia itu.

“Ah, gawat”, Nao kembali mencelupkan kuasnya pada piring tinta di depannya dan kembali menulis permohonannya. Setelah selesai, ia menggantung ema miliknya pada papan besar di bagian samping. Permohonan itu tertulis, ‘Semoga Takahashi-senpai bisa lulus ujian masuk universitas dan mewujudkan impiannya -Shizuhara Nao’. Ia tersenyum puas sambil memandanginya.

“Mengapa kau tidak menulis permohonan untuk dirimu sendiri?” Riku berkomentar.

“Permohonan ini adalah untukku sendiri. Aku akan senang jika ia berhasil mewujudkan impiannya”

“Jelas-jelas kau masih mengharapkannya”

“Aku hanya mengharap kebahagiaan untuknya, meskipun ia akan mendapatkan kebahagiaan itu dari orang lain”

“Ternyata kau tipe orang yang seperti itu”

“Apa maksudmu?”

“Kau selalu mengalah dan memikirkan orang lain. Aku tidak hanya bicara tentang kisah cintamu, tapi juga bicara tentang cidera di kakimu yang lalu, dan taiyaki yang tadi kita makan”

Nao menatap laki-laki yang berdiri di sampingnya itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Ia mengetahui semuanya. Ia tahu mengapa ia mengalah untuk teman-temannya dan memilih taiyaki isian custard yang ‘biasa’ saja. Ia tahu cidera di kakinya yang lalu memerlukan waktu lebih lama untuk sembuh karena ia selalu memaksanya untuk berlari bahkan walaupun masih terasa sakit. Hal itu ia lakukan untuk klub jurnalis dan semua anggota yang sangat berharap padanya saat festival olahraga.

“Aku selalu memerhatikanmu. Aku penasaran”

Rasanya sekeliling mereka menjadi hening. Kata-kata yang diucapkan Riku barusan seolah menggema dalam kepala Nao.

***

Liburan musim dingin dan tahun baru pun berlalu. Apa yang terjadi selama liburan kemarin bagai bayangan semu. Semua kembali ke rutinitas sekolah yang padat, tidak ada yang berubah dari kegiatan klub. Masih sibuk seperti biasanya.

Di sekolah, Nanamiya adalah Nanamiya yang seperti biasanya. Saat istirahat dari latihan basket, ia tetap dikelilingi murid-murid perempuan yang datang seenaknya. Hibiki terus memerhatikan mereka. Sebentar lagi waktu istirahat akan segera habis.

Yukimura mulai mengumpulkan semua anggota untuk bersiap melanjutkan latihan kembali. Hibiki, bergerak cepat untuk mengumpulkan botol air minum dan handuk yang telah digunakan.

“Hibiki”

Panggilan dari Nanamiya membuatnya terkejut. Baru kali ini ia memanggil Hibiki dengan nama depannya. Sampai beberapa waktu lalu, ia hanya memanggilnya dengan nama belakangnya, Anjou.

“Tolong, ya.” Nanamiya memberikan handuk dan botol air minumnya pada Hibiki sambil tersenyum.

“Ba.. Baik”, jawab Hibiki agak gugup. Ia belum terbiasa dengan panggilan itu.

“Kami pamit dulu, ya, Nanamiya-senpai.”

Murid-murid perempuan itu biasanya memang selalu pulang saat latihan terakhir pada setiap harinya. Mereka tidak ingin pulang terlalu sore. Bahkan pulang di waktu ini pun terhitung cukup rajin mereka lakukan hanya untuk menonton dan berbicara dengan Nanamiya.

“Ya, sampai jumpa, Erika-chan, Yuu-chan, Sae-chan”

Nanamiya melambaikan tangannya pada murid-murid perempuan itu. Ia selalu berbicara dengan santai kepada semua perempuan yang ia temui. Ia pun memanggil mereka semua dengan nama depan, tidak ada yang istimewa dari panggilan itu. Rasa gugupnya tidak memiliki arti, pikir Hibiki. Ia membalikkan badannya dan berjalan menuju bangku cadangan untuk meletakan semua handuk dan botol minum para pemain yang memenuhi kedua tangannya.

Yukimura yang sedari tadi berdiri di samping Nanamiya berkomentar, “Sejak kapan kau memanggil seseorang tanpa ‘akhiran penghormatan*’? Bukankah hanya dia yang kau panggil nama depannya tanpa ‘akhiran penghormatan’?”

“Benarkah?” Balas Nanamiya dengan senyum santainya. Ia melompat-lompat untuk melemaskan ototnya setelah beristirahat kemudian men-dribble bola basket ke tengah lapangan.

Lihat selengkapnya