Dibandingkankan dengan café populer dengan berbagai dekorasi dan menu yang lucu menggemaskan, lebih nyaman berada di coffee shop dengan desain kuno dan antik. Tempat yang tenang, tidak berisik oleh suara anak-anak muda yang berbicara keras, aroma kopi yang membuat rileks, ditambah melihat orang yang disukai menyeduhkan kopi dengan tangan ahlinya.
“Aku bilang kau boleh ke sini, tapi apakah itu berarti kau akan datang setiap hari?”
“Aku senang berada di tempat ini”
Memang benar, sejak pertama kali ia mengetahui Nanamiya bekerja di coffee shop ini, hampir setiap hari Hibiki datang.
“Kalau begitu, hari ini aku yang traktir” sahutnya sambil memberikan secangkir coffee blend untuk Hibiki di meja bar di depannya.
“Terima kasih”
Hibiki memejamkan mata sambil menyeruput coffee blend-nya, merasakan sensasi setiap komponen rasa yang muncul di dalam mulutnya.
“Oh, ini dari Kolombia, ‘kan?”
“Aku juga menambahkan sedikit Papua New Guinea supaya aromanya lebih kompleks”, Nanamiya mendekatkan wajahnya untuk mencium aroma kopi yang ia buat. “Apa kau tidak mencium aromanya?”
Hibiki memalingkan wajahnya yang memerah, “Ti.. Tidak.” Wajah Nanamiya terlalu dekat.
“Mengapa mukamu merah? Haha..”
“Tidak”
TING
“Oh, Mako-chan. Kau sudah datang?” sapa Nanamiya.
Hibiki menengok ke arah pintu masuk dan melihat Mako sedang berdiri di sana dengan sebuah kotak besar yang dipegangnya. Mengapa ia tahu tentang tempat ini?
“Maaf, ya, merepotkanmu untuk mengantar. Aku melupakan jenis kopi ini. Untung ayah mengingatkanku.” Nanamiya segera membawa kotak besar itu ke dalam ruang penyimpanan biji kopi di bagian dalam.
“Ehm.. Kojima-san, apa kau ingin minum kopi bersama?” ajak Hibiki.
“Tidak. Aku permisi dulu”, balas Mako kemudian berjalan keluar coffee shop.
“Kami sama-sama berasal dari SMP yang sama di Niigata. Saat kelas 3, keluargaku pindah ke Tokyo dan tinggal di sini bersama ayahku”, jelas Nanamiya setelah kembali ke meja bar.
“Oh, begitu..”
Ternyata bukan dialah orang yang paling dekat dengan Nanamiya.
***
“Benar, ya, senpai. Kau harus memberikan kancing almamatermu padaku”
“Padaku juga”
“Aku juga”
“Hei, kalian ini. Memangnya kancing di almamaterku sebanyak itu? Haha..” Nanamiya tertawa lalu meninggalkan mereka untuk kembali latihan. Ia meneguk air dari botol air minumnya. Kemudian, ia berpapasan dengan Hibiki.
“Apa anak perempuan suka mengoleksi kancing seragam?”
“Eh?”
“Gadis-gadis itu ingin aku memberikan kancing almamaterku untuk mereka”, Nanamiya menunjuk murid-murid perempuan yang tadi berbicara dengannya. “Apa menurutmu aku harus memberikannya pada mereka?”
“Me.. Mengapa kau bertanya padaku?”
“Karena kau perempuan, ‘kan? Apa perempuan juga menyukai hal-hal aneh seperti ini? Aku sama sekali tidak mengerti”
Tentu saja kau tidak mengerti, pikir Hibiki. Ini adalah hal-hal feminin yang akan dilakukan perempuan untuk meminta sebuah kancing seragam dari laki-laki yang disukainya saat kelulusan. Dahulu mereka akan meminta kancing kedua dari atas sebagai kancing yang letaknya paling dekat dengan hati. Setelah model seragam mengalami banyak perubahan, nampaknya itu bukan lagi hal yang menjadi trend. Walaupun tampaknya masih saja ada beberapa perempuan yang masih ingin memiliki bagian kancing manapun dari seragam laki-laki yang disukainya.
“Oh iya, Mako-chan juga pernah meminta kancing seragamku sebelum aku pindah ke Tokyo”
Kata-kata dari Nanamiya bagai petir yang menyambar hatinya di siang bolong.
“Apakah itu kancing kedua dari atas?” tanya Hibiki.
“Wah, kau hebat sekali bisa menebaknya”