Mako melangkahkan kakinya keluar gerbang sekolah yang sedikit terbuka. Hari ini terasa begitu melelahkan. Setelah belajar di perpustakaan sekolah hingga tutup pukul 5 sore, dirinya pulang dengan kereta seperti biasa.
Ketika hendak keluar dari stasiun pemberhentian, hidungnya terasa gatal. Kedua tangannya segera menutup hidung serta mulutnya. Mako menarik napas dalam-dalam lalu bersin. Satu tangannya merogoh tasnya untuk mengambil tisu. Kemudian, ia mengelap hidungnya dengan tisu tersebut lalu membuangnya ke tempat sampah terdekat.
Saat Mako menutup resleting tasnya, matanya seakan ikut mengabsen setiap buku di dalam. Ia langsung menyadari bahwa buku teks geografinya masih tertinggal di kelas. Ia tidak menggunakan buku tersebut saat belajar di perpustakaan, karena saat itu ia hanya fokus pada materi dari buku-buku yang ia pelajari di sana. Ia harus kembali ke sekolah untuk mengambilnya.
Sementara itu, ketika sampai di kelas 2-A, ia malah bertemu dengan Nao dan Riku di sana dengan reaksi yang tidak terduga. Mungkin mereka sedang belajar bersama, pikirnya.
‘Tapi, aku butuh informasi tentang Shizuhara-senpai dan Nagase-senpai’
‘Memangnya ada apa dengan mereka?’
‘Ah.. kau tidak tahu, ya?’
Tiba-tiba ia teringat percakapan dengan Shohei waktu itu. Belakangan ini, ia agak jarang berkumpul dengan Nao, jadi sama sekali tidak menyadarinya.
TAP TAP TAP
TAP TAP TAP
Mako menghentikan langkahnya. Ia kembali mendengar jejak langkah seseorang yang tipis di belakangnya. Ia memberanikan diri menolehkan ke belakang. Tidak ada siapapun. Mako kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Tangan kanannya menggenggam erat tali tas di bahunya. Bagaimana jika itu adalah penguntit yang dibicarakan orang-orang? Ia mempercepat langkahnya, kemudian berlari.
Kini bunyi langkah di belakangnya juga semakin terdengar jelas dan bergerak cepat ke arahnya. Sebuah tangan memegang bahu Mako.
“Tolong jangan mendekat!” teriak Mako menghempaskan tangan itu sekuat tenaga.
“Aduh..”
Mako segera menolehkan pandangannya ketika mendengar suara perempuan di belakang. Nao memegangi lengan kirinya yang terasa sakit karena terhempas. Ia dan Riku menatap Mako yang terlihat panik.
“Ma.. Maaf, aku tidak bermaksud.. Apa kau tidak apa-apa?” tanya Mako menghampirinya.
“Tidak apa-apa. Ayo, kita pulang bersama”, ajak Nao sambil tersenyum. Ia menggandeng tangan Mako yang terlihat ketakutan. Mereka pun berjalan beriringan bersama. Mako pasti mengiranya sebagai orang tak dikenal yang menguntitnya.
KLUNG
Suara seperti kaleng yang jatuh membuat Riku menoleh ke belakang.
Seekor kucing melompat turun dari pagar rumah menuju aspal sambil mengeong.
Ternyata kucing. Riku pun meneruskan perjalanannya bersama dua perempuan yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya.
Ketika mereka sudah berjalan agak jauh, seorang pria yang menyembunyikan wajahnya dibalik hoodie berwarna hitam dan masker terlihat di ujung jalan, di balik tiang listrik. Ia menginjak kaleng bekas minuman di bawahnya.
***
“Selamat pagi!” sapa Nao dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Ini adalah hari ketiga ujian semester di SMA Taitou. Setiap paginya Nao dan Riku bertemu di dekat gerbang sekolah ataupun lobi sekolah saat mengganti sepatu. Saat itulah Nao menyapanya, dan setiap kali itu pula Riku mengacuhkannya bagai tak mendengar apapun. Dengan beberapa waktu yang telah mereka lewati bersama, seharusnya suasana di antara mereka tidak sesunyi ini.
BUK!
“Oi!” keluh Riku dengan nada tinggi. Ia memegang bahu kirinya yang baru saja terkena sasaran pukulan tas Nao.
“Maaf, habisnya..” Ekspresi wajah Nao menjadi serius. “Sebagai teman, setidaknya ucapkanlah sesuatu saat aku menyapa atau berterima kasih padamu. Rasanya sedih ketika kau berpura-pura tidak mendengarku.”
Riku terdiam sejenak menatap sosok belakang Nao yang berjalan mendahuluinya. Kemudian, ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Nao!”
“Eh?” Nao menoleh ke arah Riku. Ia sangat terkejut mendengar Riku tiba-tiba memanggil nama depannya. Shohei yang sedang berjalan tidak jauh di belakang mereka pun turut terkejut mendengarnya.
Riku berjalan melewati Nao sambil melemparkan sesuatu ke arahnya. Dengan panik, Nao berusaha menangkapnya. Itu adalah penghapus yang minggu kemarin terjatuh dan hilang entah kemana saat mereka belajar bersama di kelas 2-A.
“Oh, terima kasih!” Nao berlari kecil mengejar Riku. Namun, lagi-lagi lelaki itu hanya diam sambil berjalan. “Hei, apa kau mendengarku?” tanyanya mulai kesal.
“Iya, iya, aku mendengarmu”, jawabnya malas. Nao pun tersenyum.
Shohei pun berlari menyusul dan menyelip di antara mereka. “Tunggu, suasana macam apa ini?” Ia lantas merangkul Riku. “Hei, kau barusan memanggil nama depannya, ‘kan? Apa kalian sedekat itu?”
Riku melirik rangkulan tangan Shohei di bahunya. “Jangan sok akrab denganku”, balas Riku dengan tatapan dinginnya.
Berkat itu, akhirnya Shohei melepaskan rangkulannya. Namun, tidak berhenti sampai di situ, ia malah merangkul bahu Nao.
“Kalau begitu, aku juga boleh memanggilmu ‘Nao-senpai’, ‘kan?” tanyanya dengan senyum yang manis.
“Uhm..”
“Yosh, baiklah kalau boleh.”
“Aku belum mengatakan apapun..”, gumam Nao sambil tersenyum kecil.
***