Invisible Love

Natsume Risa
Chapter #18

Munculnya Penguntit

‘Sayang sekali, ya.. Jika aku tidak pindah ke Tokyo waktu itu, pasti ceritanya sama sekali berbeda.’

Masih teringat dengan jelas di kepala Mako, raut wajah Nanamiya beberapa saat yang lalu, saat ia mengembalikan kancing seragam SMP-nya. Laki-laki itu terus menatap kancing tersebut di telapak tangannya.

‘Maaf’, ucapnya dengan sedikit senyum yang memarpancarkan penyesalan di wajahnya. Ia menggenggam kancing tersebut, kemudian berjalan meninggalkan Mako.

Benar, seandainya ia lebih berani menunjukkan perasaannya kepada Nanamiya, mungkin ceritanya akan sama sekali berbeda. Seandainya ia tidak menyerah dan tetap berjuang sampai saat ini, apakah ceritanya juga akan berubah? Tidak. Sudah terlambat. Paada kenyataannya, tanpa ia sadari, cerita sudah berubah bahkan sebelum kepergiannya ke Tokyo.

‘Dengan bakat dan nilai-nilaimu yang mendukung, tidak hanya di Tokyo, kau bahkan bisa mengincar untuk pendidikan di luar negeri.’

Wali kelasnya saat SMP sangat mendukung Mako untuk melihat dunia lebih luas dan mengejar pendidikannya di kota besar. Perlahan, Nanamiya bukan lagi prioritas utamanya untuk berjuang. Ia hanya fokus menjadi nomor 1 dalam pelajaran.

Dengan langkah yang lambat, Mako berjalan memasuki gerbong kereta di depannya, tepat sebelum pintu otomatis tertutup. Ia berdiri bersandar pada tiang tempat duduk di samping pintu otomatis sambil memperhatikan pemandangan dibalik jendela yang perlahan samar seiring dengan laju kereta yang semakin cepat meninggalkan stasiun.

‘Kepada para penumpang terhormat, saat ini Anda sedang berada di kereta ekspres menuju Saitama. Kereta hanya akan berhenti saat sampai di stasiun pemberhentian terakhir. Silahkan gunakan waktu Anda dengan baik. Terima kasih.’

Seketika, Mako tersadar dari lamunannya. Ia memperhatikan sekelilingnya. Di gerbong itu hanya ada 5 orang, termasuk dirinya. Ini sama sekali tidak bagus. Mengapa ia bisa salah naik kereta? Jarak dari Tokyo menuju Saitama kira-kira 1 jam. Akan membutuhkan waktu 2 kali lipat, bahkan lebih untuk menunggu kereta berikutnya kembali ke Tokyo.

***

Matahari sudah terbenam beberapa saat yang lalu. Saat perjalanan di kereta kembali menuju Tokyo, ia menyaksikannya dari jendela. Setelah keluar dari stasiun pemberhentiannya, Mako melihat langit di atasnya yang sudah gelap. Lagi-lagi ia pulang malam.

Mako mengecek smartphonenya. Masih pukul 19.28, namun suasana di sekitar stasiun sudah sepi. Apakah ini karena rumor tentang penguntit itu?

Hanya ada 5 pemuda yang sedang nongkrong sambil bercengkrama dengan minuman kaleng mereka di dekat vending machine tidak jauh dari stasiun. Dilihat dari penampilannya, mereka adalah pemuda dewasa di usia 20-an. Walaupun agak tidak nyaman, Mako tetap melanjutkan langkahnya melewati para pemuda itu. Sambil tersenyum dan bisik-bisik kecil, mereka menatap Mako dengan tatapan yang kurang menyenangkan.

Setelah beberapa langkah melewati mereka, akhirnya Mako menghela napas. Beruntung, para pemuda itu tidak mabuk dan melakukan hal-hal aneh. Namun, ketika berbelok di pertigaan, ia mulai mendengar suara itu lagi.

TAP TAP TAP

TAP TAP TAP

Seseorang mengikutinya. Mako menggenggam erat tali tas di bahunya. Tidak ada yang menjamin bahwa penguntit itu tidak akan melakukan apa-apa di jalanan yang sepi menuju rumahnya yang masih sekitar 15 menit lagi. Ia mempercepat langkah menuju minimarket di seberang jalan. Saat ini, minimarket adalah satu-satunya tempat publik dimana ia bisa menyelamatkan diri sementara dari penguntit itu. Dengan kamera pengawas, kasir dan beberapa pembeli yang ada di sana, setidaknya tidak akan membuat penguntit itu mendekat.

Namun, walaupun itu adalah minimarket 24 jam, tidak mungkin ia terus berada di sana dan menunggu penguntit itu menyerah. Bahkan ia saja tidak tahu seperti apa wajah penguntit itu. Mako mengintip dan mengawasi lingkungan di sekitar minimarket dari balik rak makanan ringan. Di balik kaca tembus pandang minimarket, ia melihat seseorang mencurigakan dengan hoodie hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Orang itu berdiri di samping tiang listrik di seberang jalan, mengarah ke minimarket tempatnya berada.

Mako kembali menyembunyikan badannya di balik rak sambil menggenggam tali tasnya dengan erat. Ia mengeluarkan smartphone dari saku roknya dan membuka layar kontak. Menghubungi paman dan bibi untuk merepotkannya di saat seperti ini sepertinya bukan pilihan yang tepat. Menghubungi teman perempuan juga tidak akan membuat situasi berubah, bahkan mungkin akan lebih berbahaya. Kepada siapa ia harus minta tolong? Nanamiya?

Mako menatap kontak Nanamiya di layar smartphone-nya. Dengan segala hal yang mereka bicarakan sebelumnya di sekolah, seharusnya ia tidak lagi menghubunginya. Tetapi.. sekali ini saja. Mako menekan pilihan untuk melakukan panggilan telepon kepada Nanamiya.

***

TING

Nanamiya membuka pintu café Let It Be.

“Kau ini lama sekali..”, tegur seorang laki-laki paruh baya–yang merupakan ayahnya.

“Maaf”, balas Nanamiya sambil tersenyum polos menggaruk rambut belakangnya. Walaupun begitu, ia bersyukur bahwa hari ini ayahnya memberi kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan Hibiki hingga mengantarnya pulang di hari terakhir sebelum liburan musim panas.

“Dasar anak muda.. cepat bantu aku ambil biji kopi Colombia di ruang belakang.”

Sementara ayahnya sibuk mengawasi mesin penggiling biji kopi, Nanamiya pun meletakkan tasnya di meja bar dan pergi ke ruang belakang. Saat ini suasana café sedang cukup ramai karena memasuki liburan musim panas. Banyak keluarga yang membawa serta anggota keluarga lainnya untuk menikmati kopi di café Let It Be.

DRTTT DRTTT

Smartphone Nanamiya bergetar di dalam tasnya.

“Ini, biji kopinya”, sahut Nanamiya berjalan menuju meja bar dan memberikan bungkusan besar kepada ayahnya.

TING

“Kei, tolong kau layani dulu sebentar”, sahut ayahnya sambil membuka bungkus kopi yang baru saja dibawakan.

Nanamiya pun segera mengenakannya apronnya. “Selamat datang!” sambutnya kepada seorang pelanggan laki-laki yang baru saja masuk.

“Tolong 1 Caramel Latte”

Lihat selengkapnya