Aldino masih dirawat di rumah sakit. Michelle belum sempat menjenguknya. Dia berencana untuk menjenguknya setelah pulang sekolah nanti.
“Michelle Laurencia Hermawan!” panggil Pak Jaya, guru Matematika atau bisa juga dibilang guru killer International High. Tatapannya begitu tajam mengarah ke Michelle.
“Ya, Pak?” sahut Michelle.
“Dari tadi saya panggil kamu! Tolong fokus ke pelajaran saya atau kamu gak menganggap pelajaran saya penting?” ucap Pak Jaya.
“Contohlah teman sekelasmu, Arin, dia selalu memperhatikan dan menganggap bahwa Matematika itu penting, bisa kalian liat dari nilainya yang selalu sempurna.” Pak Jaya memuji Arin.
Arin tersenyum bangga, sedangkan yang lain bosan mendengar pujian dari Pak Jaya untuk Arin.
Bel pun akhirnya berbunyi. Murid-murid langsung keluar kelas sebelum Pak Jaya keluar terlebih dahulu. Michelle pun begitu, namun Pak Jaya tiba-tiba memanggilnya.
“Michelle, tolong bawakan ini ke kelas 12 IPS 3,” pinta Pak Jaya sambil memberikan sebuah tas tenteng berisi kertas-kertas.
“Iya Pak,” jawab Michelle tanpa membantah.
Jarak di antara kelasnya dengan kelas IPS lumayan jauh. Memakan waktu beberapa menit untuk berjalan menuju ke sana. Mungkin kali ini Michelle tidak sempat dapat waktu istirahat.
Koridor kelas IPS sangat ramai. Banyak murid berkumpul melingkar. Penasaran, Michelle menghampiri mereka. Dia menyerobot ke tengah untuk melihat apa yang terjadi. Michelle sempat kaget saat melihat Rifqi dan teman sekelasnya, Ardi, sedang bersitegang.
“Pengecut lo! Tiga lawan satu. Kalo berani, tiga lawan tiga!” sengit Ardi mendorong bahu Rifqi.
“Suka-suka gue dong, ini urusan gue sama Aldino. Lo ngapain ikut campur? Masalah hidup lo udah kelar semua? Pikirin dulu tuh masalah pribadi lo!” Rifqi tak mau kalah.
“Lo ngapain nyiksa Aldino kalo ujung-ujungnya lo juga yang bawa dia ke rumah sakit?” ujar Ardi pedas.
Emosi Rifqi mulai terpancing, kupingnya kini sudah panas mendengar celotehan Ardi. Rifqi melayangkan pukulannya, menonjok Ardi. Mendapat bogem mentah, Ardi tak terima. Dia membalas. Hingga baku hantam di antara mereka tak terhindarkan. Penonton tidak berani melerai mereka, memutuskan untuk mundur, takut kena pukulan salah sasaran. Namun, dengan nekatnya, Michelle mendekati mereka.
“Rifqi!” Michelle berteriak.
Rifqi dan Ardi berhenti berkelahi mendengar teriakan Michelle. Kini semua mata beralih ke Michelle yang tiba- tiba muncul.
“Kenapa lo nyerang temen gue?!” ujar Michelle kepada Rifqi dengan tatapan tajamnya.
Rifqi mendekati Michelle hingga jarak mereka hanya satu senti. Michelle manahan napasnya, kini tidak ada jarak di antara mereka.
“Bukan urusan lo,” bisik Rifqi tepat di telinga Michelle. Rifqi menatap Ardi yang sudah babak belur juga.
“Heh, ada apa ini? Bubar-bubar,” perintah Bu Naila, guru BK, yang tiba-tiba muncul.
Orang-orang membubarkan diri. Kini hanya ada Rifqi, Ardi, dan Michelle. Mereka bertiga pun dibawa ke ruang BK.
“Rifqi dan Ardi lagi, Ibu bosen liat muka kalian. Kalian bosen gak sih dipanggil ke ruangan Ibu mulu,” Bu Naila mengusap dada.
“Lumayan Bu, bisa mabal beberapa menit,” kata Rifqi asal.
“Eh kamu yah, buat apa kamu ke sekolah kalo buat mabal?”
“Kamu juga lagi, anak baru udah masuk ruangan saya, Ibu harap ini yang terakhir kamu injak kaki kamu di sini,” Bu Naila sambil menatap Michelle.
“I-iya Bu.”