Jakarta, 1992.
Sampai tua sekalipun, Ipah ingat hari itu. Pertengahan bulan Juni. Ia masih seorang gadis kecil yang benar-benar tidak bisa dibilang kecil. Usianya dua belas tahun lebih dua bulan waktu itu, dan beratnya hampir empat puluh kilogram. Dengan tinggi seratus empat puluh sentimeter. Yah, sekarang pun ia tidak mengecil. Tidak pernah. Lebih dari satu jam ia setengah meringkuk di atas salah satu cabang pohon mangga yang cukup kokoh di depan sekolah. Pohon yang malang. Tak peduli rok seragam merahnya tersingkap sedikit. Tak sadar ranting yang tadi menghalangi sudah beberapa senti merobek kemeja putihnya yang bertuliskan “IPAH” di bagian dada kanan. Pohon tua itu selalu baik. Itu sebabnya ia sangat menyayanginya, baik ketika sedang berbuah banyak ataupun bahkan saat belum lagi berbunga. Pohon mangga tua itu akan mencapai tingkat kepopuleran tertinggi saat musimnya tiba. Dimana anak-anak kecil akan berkerumun dan memanjatnya untuk mengambil buah-buahnya. Ipah selalu datang pada pohon tua, terutama saat ada yang mengganggu perasaanku. Rerimbunan daunnya adalah yang selalu kubutuhkan darinya. Pak Gun sang penjaga sekolah pernah mengakui bahwa ia sebenarnya menyesal telah menanam pohon itu di depan pagar sekolah. Niatnya adalah memberi kesejukkan pemandangan sekolah yang dibangun di daerah lapang yang terik ini. Kerap pertikaian timbul antara murid-murid sekolah dengan anak-anak yang tinggal di sekitar lingkungan sekolah. Mereka sama-sama merasa berhak atas buah-buah manis dari pohon tua yang baik itu. Padahal yang Pak Gun tahu, juga Ipah, pohon itu tak akan keberatan membaginya buah-buah maupun sejuknya pada siapa saja. “Manusia lah yang serakah,” Kata Pak Gun.
Semua orang sudah lama pergi meninggalkan sekolah. Yang terakhir adalah Ibu Yana, yang meninggalkan sekolah dengan motor bebek merahnya. Sebelumnya beliau berusaha keras menghibur Ipah setelah menyampaikan berita buruk tadi. Bahwa Ipah belum bisa melanjutkan ke kelas enam.
Tak ada yang harus menjemputnya. Ia terbiasa pergi dan pulang berjalan kaki sendiri. Bersama beberapa teman, jika beruntung. Kalau saja ada arloji melingkar di pergelangan tangannya, ia akan tahu hampir tiba waktu Ashar.
Pak Gun menyapu halaman sekolah lebih lama dari biasanya. Diam-diam sengaja supaya bisa mengawasi Ipah dari halaman sekolah, memastikan tak ada orang asing yang meculiknya. Pak Gun tidak akan beristirahat sebelum yakin murid-murid sekoloah ini pulang dengan aman. Hari itu berat untuk Ipah, Pak Gun pasti tahu. Dua puluh tahun lebih bekerja sebagai penjaga sekolah ia kenal betul arti wajah-wajah merana di hari penerimaan rapot. Ada dua hal yang selalu membuat berat hatinya di sekolah tempatnya bekerja sekaligus tinggal bersama istri yang bersamanya telah membesarkan kelima anak mereka. Pertama ialah menyaksikan perpisahan; mereka yg lulus yang pastinya tak akan ia jumpai tak peduli berapa seringnya mereka berbagi tawa dengan Pak Gun di hari-hari mereka bersekolah di sana. Kedua; wajah murung murid-murid, terutama di hari penerimaan rapot.
Ipah tahu banyak tentang Pak Gun. Juga tentang sekolah ini, karena ia memang menghabiskan waktu di sekolah dasar ini lebih lama dari anak-anak lain; delapan tahun.
Ibunya sudah pergi sebelum ibu Yana pergi, membawa kertas hasil belajarnya selama cawu setahun terakhir. Lain dengan Bu Yana ataupun Pak Gun, ibunya tidak terlihat iba pada Ipah. Tidak pula ada kerut-kerut tambahan di dahinya layaknya bila sedang marah. Ia seperti sudah siap menerima berita yang disampaikan Bu Yana. Hasil-hasil ulangan harian yang dibawa pulang Ipah cukup untuk membuat miris hati memang. Lebih miris lagi karena beliau merasa tak banyak bisa membantu. Pelajaran-pelajaran di sekolah yang dulu ia terima –yang sudah pula jauh berbeda dengan yang didapatkan anaknya—hanya kenangan samar yang sudah jauh tertinggal di kehidupan lain. Selain membaca dan berhitung, tak banyak yang menetap dalam ingatannya.
Ibu juga tidak keberatan saat aku bilang tidak mau pulang. ''Jangan siang-siang pulangnya.'' hanya itu yang diucapkan Ibu. Mungkin itu hanya karena Ibu sangat lelah. Malam setelah aku tidur dan subuh sebelum aku bangun, Ibu selalu sibuk di dapur. Menyiapkan kue-kue untuk dititipkan ke kantor-kantor dan sekolah-sekolah. Juga ke warung kelontong milik kenalan Ibu. Ipah bisa mengerti kalau Ibu sudah tak punya lagi tenaga tersisa untuk marah-marah.
Ipah sengaja menunggu lama untuk keluar dari kelas. Dari celah jendela kelas ia mengawasi keriaan serta riuh teriakan teman-teman yang dulu sekelas dengannya; dari kelas satu sampai di kelas lima. Kontras dengan suasana di tempatnya duduk sendirian. Mereka berteriak ''LULUS!!'' dan disambut bunyi-bunyi gaduh lainnya yang menyebar di halaman sekolah Ipah siang itu. Tak ada yang mengeluhkan teriknya hari itu. Mengacung-acungkan tangan ke atas, berpelukan, menangis bersama, saling beradu telapak tangan. Gelisah yang berminggu-minggu membuat tidur mereka tak nyenyak hilang menguap seketika setelah satu per satu mereka melihat nama masing-masing di papan pengumuman kelulusan. Bahkan Pak Zulkifli, wali kelas enam, ikut berlompatan. Begitu juga mereka yang lulus dengan nilai jauh dari sempurna. Yang penting lulus.
Senyuman lebar tak kunjung hilang dari wajah Evi. Evi dulu selalu duduk sebangku dengan Ipah sampai tahun lalu terpisah karena Ipah harus tinggal di kelas lima. Sekarang harus berpisah ke sekolah yang berbeda.