Suami Rustini tak tahan dengan bunyi kresek-kresek berisik kantong plastik. Tapi selama setengah jam ini Ia biarkan istri tercintanya membungkus rapi baju setelan dan berbagai macam keripik dari paru sapi, kulit ayam sampai ceker ayam, untuk keponakan-keponakannya di Jakarta. Kantong-kantong plastik itu, memang karena bunyinya yang kresek-kresek, orang Jawa biasa menyebutnya kresek. Harusnya Tarmin sudah biasa dengan suara kresek. Biasa sih biasa, tapi tetap saja berisik. Tiap hari dengan sabar didengarkannya kresek-kresek itu. Suara yang tidak riuh tidak rendah namun bikin risih di telinga. Kresek-kresek itu telah menjadi kebutuhan Rustini, istrinya. Kantong kresek sudah menjadi kebutuhan pokok Rustini. Ia butuhkan untuk membungkus baju ataupun kain batik dagangannya. Baju-baju dan kain-kain batik itu membawa Rustini ke rumah-rumah yang tengah menyelenggarakan arisan-arisan atau pertemuan, sekolah-sekolah, kemana saja dimana kira-kira ada peminat. Berplastik-plastik dagangan itu membawa Rustini bertemu banyak orang selama bertahun-tahun. Membuatnya lupa akan sepinya rumah tanpa suara anak-anak. Betapapun suara kresek membuat telinga Tarmin risih, kresek-kresek itu merupakan tanda semangat dari istrinya. Bunyi kresek yang mengganggu Tarmin menjadi salah satu tanda kehidupan di rumah ini. Selama ada bunyi kresek, artinya ada semangat Rustini untuk hidup. Dagangan Rustini, yang menggantikan kesibukannya sebagai Ibu. Cita-cita yang belum kesampaian, lantaran setelah 20 tahun pernikahan, pasangan yang hingga kini masih saling mengasihi dengan manis itu belum juga dikaruniai keturunan.
Tarmin senang istrinya punya kesibukan yang membuatnya bersemangat. Kalau istrinya senang Tarmin pun ikut senang. Itu sebabnya Tarmin tak ingin mengusiknya. Apalagi wajah sang istri hari ini begitu cerah, sebentar-sebentar seperti ada yang menarik ujung bibirnya. Cantik sekali istriku hari ini, walau dandanannya tak berbeda dari biasanya. Berbalut daster batik panjang, rambut panjangnya gelung dengan jepitan besar ke atas. Tak ada yang istimewa, tak ada yang mewah. Namun bagi Tarmin, istrinya sungguh luar biasa.
Tarmin yakin, kali ini Ia harus mengusik sedikit kesibukan istrinya dengan kresek-kresek itu. Namun Ia ragu dengan caranya, dan bagaimana menyampaikannya. Sungguh tak ingin Tarmin menghapus wajah cerah istrinya, merusaknya dengan pikiran-pikiran yang mengecewakan. Ia tak mau istrinya berprasangka dirinya tak mendukung keputusan Rustini yang sudah sebulat-bulatnya bulat. Kata hati Tarmin mengatakan, ia harus membuat istrinya berpikir lagi mengenai keberangkatannya ke rumah adiknya di Jakarta.
“Banyak sekali yang dibawa, jeng?” Ya, Tarmin masih suka memulai pembicaraan dengan basa-basi memang. Tapi basa-basi bukan kepura-puraan melainkan barhati-hati. Jembatan penghubung antara kecanggungan dan pembicaraan sebuah hal yang serius. Sekaligus pencair ketegangan hati Tarmin, yang yakin harus mengutarakan kegelisahannya namun tak yakin bagaimana caranya.
Rustini tersenyum tanpa beralih dari bungkusan-bungkusannya. “Ya, alhamdulillah, bisa bagi-bagi rejeki.” Semakin tak tega hati Tarmin.
Mengirim makanan, baju untuk ketiga keponakannya, atau membawanya langsung setiap kali Rustini berkulak ke tanah abang itu memang sudah biasa. Rustini sangat menyayangi keponakan-keponakannya. Terlebih Ina, Kiki dan Ipah jarang bisa punya baju baru atau beli-beli apa saja yang mereka suka. Apa salahnya Rustini berbagi kesenangan pada mereka? Meskipun penghasilan suaminya yang pegawai negri juga tidak berlebih. Kalau jualannya sedang bagus, Rustini senang membelikan keponakan-keponakannya hadiah, atau sekedar cemilan untuk teman belajar atau nonton televisi.
Kali ini oleh-oleh yang akan dibawa Rustini naik kereta bersamanya dua kali lipat dari biasa. Tarmin tahu ini bawaan dari suasana hati istrinya, yang akan datang ke Jakarta dengan penuh harapan untuk membawa keponakan ragil-nya ke Solo bersamanya.
“Jeng, coba berhenti dulu. Sini sebentar to, temani aku. Kok dari tadi aku dicuekin.” Tarmin mencoba menarik perhatian istrinya dengan cara genit. Lagi-lagi supaya suasana tidak tegang. Rustini tertawa geli, Ia sadar sejak tadi dirinya mengacuhkan suaminya, sibuk dengan oleh-oleh dan hadiah.
“Sebentar, nanggung.” Rustini melipat-lipat sisa kertas koran dan kresek yang berserakan di lantai. Beres semua. Tak sabar Ia berangkat nanti malam.
“Mau teh, Mas?” Rustini menawarkan dengan manis. Suasana hati perempuan memang gampang ditebak, semua tersirat dari raut muka dan caranya berbicara. Jelas Rustini sedang bungah.
“Kopi,” Tarmin mencoba bernego walau tahu akan sia-sia.
“Teh saja. Jangan kebanyakan kopi,” Benar, kan? “Sebentar digodhok dulu.” Ya kalau masih bisa minum teh kehitaman hasil seduhan air mendidih kenapa musti teh celupan yang encer itu? Memang lebih lama dan repot. Tapi repot dan lama itu tidak merepotkan dan membosankan kalau sudah terbiasa.
Menyisihkan waktu bagi Tarmin untuk menyusun kata-kata yang enak didengar istrinya, walau pastinya sedikit banyak akan menimbulkan gundah. Bukannya hati istrinya itu bebas gundah selama puluhan tahun ini. Tapi Ia harus menegurnya.
Rustini datang dengan segelas besar teh nasgitel di wajahnya dan sederet senyum di wajahnya. Didampinginya suami yang selalu sabar dan manis itu di sisinya. Tutup gelas dibuka, membebaskan kepulan uap panas teh yang hitam pekat.
“Wis beres?”