Ipah

Tika Sofyan
Chapter #3

Ayo Sekolah!

Ipah menggosokkan bagian dalam bajunya ke ketiaknya. Keringat mengucur di kening, leher juga badannya, dan ia mulai khawatir tubuhnya mengeluarkan bau tak sedap. Bukan saja setrika yang digenggamnya setengah jam belakangan ini yang membuatnya kepanasan, tapi juga rumah Bu Mer yang kurang ventilasi ini penyebabnya. Belum lagi lampu ruangan yang menyala semua di siang hari. Ipah tak segan menyarankan agar Bu Mer mematikan sebagian lampu setiap kali Bu Mer mengeluhkan tagihan listrik rumahnya. Ia tak suka rumahnya remang-remang.

Paling tidak Ipah bersyukur karena Bu Mer mengizinkannya menyeterika di ruang tengah, sehingga ia bisa nonton tv sambil menyelesaikan gunungan baju bersih di keranjang. Satu diantara sekian hal yang ia sukai dari pekerjaannya. Meski ia tidak bisa memilih acara tv sesukanya, hanya ikut menonton apa yang ditonton Bu Mer. Kadang Bu Mer asal menyalakan tv lalu mengangkat telepon, berjalan ke sana kemari sambil memegang gagang telepon. Mengurus bisnisnya, atau ngobrol teman-temannya. Gelang-gelang emas di kedua tangannya bergemerincing, karena seluruh tubuh Bu Mer seolah bergoncang saat ia tertawa.

“Pah, lihat, tuh, Pah.” Bu Mer menunjuk ke TV, di sela obrolannya di telepon. "Ih, itu ibu mertuanya yang jahat itu!" Bu Mer memerkenalkan tokoh ibu mertua jahat di telenovela. Ipah mengangguk dan meng-"Ooh", tak enak hati pada Bu Mer kalau ia tak ikut tertarik.

Setelah itu Bu Mer kembali ke tempat duduknya di sofa besar depan tv, dan Ipah kembali khusyuk pada seterikaannya.

Tak lama, Ipah mendengar desah dan decak sedih dari mulut Bu Mer.

“Duh… kasian,” cetusnya pelan. “Pah, lu lihat deh,” Bu Mer kembali menunjuk ke TV. Kali ini berita tentang jembatan rusak.

“Kenapa tuh, Bu?” tanya Ipah.

“Ini di desa, di pelosok. Anak-anak disono kagak bisa sekolah gara-gara jembatannye rusak. Lihat nih, mereka sampi gelantungan di jembatan biar bisa nyeberang ke sekolah. Ya Allah…” Bu Mer berdecak lagi. “Masya Allah semangatnya luar biasa mereka nih, mau sekolah. Sama kaya gue dulu. Seumuran lo gua sekolah kudu jalan jauh. Ya kagak sekasian ini sik, masih dapet jalannan enak, meskipun jalan tanah. Tapi gua semangat sekolah sambil jualan.”

Ipah tahu. Ipah sudah berkali-kali dengar cerita itu. Ipah juga tahu, sebentar lagi yang selanjutnya dibahas Bu Mer.

“Lo harusnya tetep sekolah, Pah. Sekolah itu penting,” suara Bu Mer menjadi lembut. “Jaman sekarang, lo mau kerja apa kalo cuma lulus SD? Iya sekarang lo bisa kerja disini. Tapi masa iya seumur idup lo mau kerja begini?”

Ipah tak menjawab. Tetap menunduk dan menggosok celana panjang yang sudah memanas.

“Kenapa sih, lo nggak mau nerusin sekolah?”

Pertanyaan yang juga sudah berkali-kali diajukan Bu Mer. Berkali-kali Ipah jawab dengan enggan. Rupanya tak pernah cukup memuaskan hati Bu Mer.

“Saya nggak pinter sekolah.”

Bu Mer mendesah panjang. “Lo kudu usaha lebih keras, Pah. Nggak boleh nyerah.”

Bu Mer mengubah posisi duduknya. Ia bergeser bokongnya hingga ke tepi sofa, tubuhnya menghadap Ipah dengan gagah. Satu tangannya menopang di pinggang, satu lagi terangkat dan bergerak bebas di udara.

“Gua bisa kaya begini,” tangannya yang di udara berayun, menunjuk seluruh isi rumahnya yang besar, penuh barang dan pajangan, “karena gua nggak menyerah.”

Lihat selengkapnya