“Budhe Rus datang kesini, maksudnya mau ngajak kamu tinggal di rumahnya, di Solo.” Tutur bapak. Datar. Seakan bapak sudah lama tahu rencana itu. Bahkan dari caranya memberi tahu, bapak seperti… tidak keberatan samasekali.
Biasanya kehadiran Budhe Rus dinantinya, karena selalu membawakan banyak oleh-oleh. Tapi kali ini Ipah tidak selera melihat oleh-oleh dari budhe yang sudah terhidang di piring dan yang masih terbungkus kantung besar di dekat pintu.
Ipah melemparkan pandangannya pada ibunya, yang balas menatapnya. Ipah menyangka ibunya akan mengatakan sesuatu, menentang dengan cara yang halus. Tapi ibunya diam saja. Sepenuhnya menyerahkan waktu dan tempat untuk bapak dan Budhe Rus. Ipah dengan takut-takut melirik Budhenya. Wanita itu tersenyum yakin, duduk dengan punggung tegak penuh percaya diri. Samasekali tidak kelihatan merasa tengah mencampuri urusan yang bukan urusannya, pikir Ipah. Hatinya mulai jengkel. Tiba-tiba hidupnya dibajak orang yang terbilang asing dan diatur-atur. Ia bisa membayangkan bagaimana hidupnya nanti kalau ikut bersamanya ke Solo. Tiap detik hidupnya akan dikendalikan perempuan itu.
“Budhe sudah lama prihatin karena kamu tidak sekolah,” lanjut bapak. “Setelah bapak pikir-pikir, ada baiknya kamu ikut Budhe dan melanjutkan sekolah disana.”
Ipah tak percaya. Benar, ini bukan ayahnya. Tidak terdengar ataupun terlihat seperti ayahnya. Bapak memang awalnya dulu membujuk Ipah untuk meneruskan sekolahnya. Tapi tidak lama. Keteguhan Ipah untuk cari uang dan tidak meneruskan sekolah tidak bisa dilawan orang tuanya sendiri. Dalam hatinya, Ipah merasa bapak dan ibunya terbantu oleh uang yang didapatnya dari kerja serabutan di sana-sini. Membantu di rumah Bu Mer, menjajakan kue, menawarkan jasa apapun yang bisa dilakukannya pada tetangga-tetangga.
Ibunya, yang ditatap Ipah setelah tak percaya mendengar apa yang dikatakan bapak, hanya diam. Tetap diam. Memandang lubang karpet yang ada di depan lututnya yang terlipat. Ipah terus menatap ibunya dengan tajam, tanpa sadar mengajaknya bicara dalam hati. Bu, ayo ngomong. Bilang Ipah nggak boleh pergi. Tapi ternyata ia tidak bisa telepati. Ternyata ia yang harus bicara mewakili dirinya sendiri. Ipah menata kalimatnya, untuk menolak pergi dan sekolah lagi.
“Ipah-nggak-mau-sekolah-di-jawa-ipah-mau-disini-aja-cari-uang-ipah-nggak-suka-sekolah,” kata-kata itu meluncur begitu cepat dari mulutnya. Jauh dari yang ia bayangkan di kepala sebelumnya. Acak-acakan dan terlalu cepat.
Senyuman yang sebelumnya masih tinggal di wajah budhenya seketika hilang.
“Ipah,” suara budhenya lembut, “Kamu anak pintar. Mau jadi apa nanti kalau putus sekolah? Nggak bisa cari kerja,” kata Rus.
“Ipah sudah punya kerja. Bisa cari duit. Rami tuh, lulus SMA malah ngga dapet-dapet kerjaan.” Ipah membantah.
“Ipah!” tegur ibunya.
“Ipah nggak perlu sekolah. Orang sekolah tinggi buat apa? Buat cari kerja. Cari duit. Ipah udah bisa kerja, bisa cari duit, ya ngapain sekolah tinggi-tinggi?” Ipah terus berjuang.
Rus menata hatinya, mengingat-ingat cara yang tepat untuk bicara dengan orang—anak tanggung—yang keras kepala.
“Kamu bisa dapat pekerjaan yang lebih baik, uang lebih banyak lagi, kalau kamu mau sekolah,” Rus bicara lebih pelan, dan tenang. “Iya, budhe tahu, budhe percaya, kamu pekerja keras. Sudah bisa bantu orang tua cari uang. Hebat,” lanjutnya. “Tapi akan lebih hebat lagi, akan lebih banyak membantu orang tua, kalau kamu mau meneruskan sekolah.”
Ipah menggeleng-geleng dengan cepat. Ia menoleh pada ayah dan ibunya. Mereka tetap diam. Tetap bersekongkol dengan budhenya untuk mengusirnya ke Jawa. Matanya kembali basah.
“Nggak, pokoknya nggak mau!” Suara Ipah kali ini lantang. Seolah ia perlu memberi kekuatan pada kalimatnya agar mereka jadi paham. “Nggak mau!!!”
Ipah terus menjerit. Menolak. Tanpa berpikir lagi, ia berlari keluar rumah. Diluar mulai gerimis, rupanya. Ipah tak peduli. Ia bahkan tak sempat memakai sandalnya. Ia berlari lebih cepat lagi supaya tidak terlalu sakit saat ada kerikil yang terinjak. Sebisa mungkin ia menghindari lubang dan retakan yang ada di gang semen yang dilaluinya.
Ia tidak tahu mau kemana. Kemanapun asal menjauh dari rumah.
Ipah tidak perlu pengakuan bahwa dirinya pintar. Ia tahu dirinya pintar sejak ia berumur lima tahun, belum sekolah malah. Ia tahu dirinya pintar saat ia bisa membaca sendiri tulisan di stiker-stiker kaca jendela tetangga depan rumahnya. Namun ternyata jadi orang pintar pun masih tak bebas memilih. Kalau kau pintar, kau harus pilih yang tinggi-tinggi. Sekolah yang tinggi, kerja di gedung-gedung tinggi. Orang-orang di sekitarmu ikut-ikut membuatkan pilihanmu. Harus sekolah. Harus sekolah sampai tinggi. Seakan kecerdasan yang kau miliki adalah milik masyarakat. Awas saja kalau sampai tidak kau gunakan untuk sekolah tinggi-tinggi.
Karena itu Ipah memutuskan untuk lari. Lari dari kenyataan itu, sekaligus lari dengan kaki-kaki kurusnya. Secepat yang bisa dilakukan seorang anak yang sejak bisa jalan sendiri dibiarkan bermain diluar rumah bertelanjang kaki dan dibawa main jauh ke kampung sebelah hingga kebon dekat kuburan oleh anak-anak tetangga. Ia berlari dan tak peduli kemana. Tak peduli ketika ia menubruk anak kecil di gang hingga anak itu menggeblak di jalan semen dan jerit tangisnya mengundang ibunya yang tengah memasak di dalam rumah.
“HEH! Lu apain anak gua!” sembur si ibu sambil mengangkat anaknya.
Tapi Ipah terus lari. Kali ini nyaris menubruk tukang gorengan yang memanggul dagangannya. Ipah terus berlari ketika ada yang memanggil-manggil namanya (“Ehh Paaah… kenapa lo? Dikejar setan?”) Semakin kencang ia berlari. Nggak mau… nggak mau… nggak mau…, hanya itu yang ada di kepalanya. Nggak ada cerita gue idup di Jawa… Sekolah lagi… sekolah pake kain kebaya saban hari kayak Ibu Kartini… kagak ada cerita! Meski ingatan tentang Ibu Kartini membuat jantungnya sedikit berdesir. Rasa bersalah, mungkin, pada wanita yang memperjuangkan hak anak-anak perempuan untuk sekolah. Tunggu dulu, Ibu Kartini anak orang kaya. Dia nggak harus cari duit dari kecil. Orang tuanya bisa ngasih makan tiap hari. Ipah membela diri sambil terus berlari kencang. Menyelip saat berpapasan dengan orang-orang yang berlawanan arah dengannya, melompati anak-anak kecil yang berjongkok di tengah jalan, tetap berlari ketika disumpah serapahi pengendara motor yang hampir saja menabraknya.
“Pah! Mau Kenapa lo?! Mo kemana?” tanya sebuah suara yang ia kenal betul saat ia lewat di depan pos Karang Taruna kampungnya. Kali ini ia menoleh. Ipin berdiri di depan pintu pos, memegang gitar, bersama anak-anak cowok lainnya. Chandra ada diantara mereka. Ipah terlalu lama menengok, terpesona oleh sosok Chandra yang memerhatikannya bersama teman-temannya. Membuat Ipah sesaat melupakan kalut di hatinya, tapi juga membuatnya terlambat menyadari ada polisi tidur baru yang tingginya nggak kira-kira—sengaja dibuat oleh Pak Hasyim pemilik rumah depan pos Karang Taruna yang geram dengan suara motor ngebut yang setiap hari lewat depan rumahnya—dan… BRUK!
Pertama punggung telapak kaki Ipah menyentuh jalan aspal abal-abal, lalu tahu-tahu lututnya sudah membentur lantai jalan, lalu yang ia ingat pipinya menyerempet permukaan kasar aspal.
Malunya lebih menyakitkan.
*
Ipah tidak ingat bagaimana tepatnya, ia bisa menahan sakit hingga bisa sampai di depan rumah Evi. Begitu ia berhenti dan memencet bel di pagar rumahnya. Pergelangan kakinya yang bengkak langsung terasa nyeri. Nyut nyut nyut hampir seirama dengan pipinya. Benar memang, rasa malu bisa sekuat itu menutupi rasa sakit. Lecet di lututnya lumayan besar, darah berkumpul di permukaan kulitnya yang terkelupas.
Ia memencet bel lagi, tak sabar.
Terdengar bunyi pintu dibuka di dalam. Lembar fiber yang menutup besi-besi pagar rumah Evi membuatnya tidak bisa melihat siapa yang datang.
Wajah Evi menyembul diantara celah pintu pagar setelah ia membukanya. Ia terlihat siap mau pergi. Rambutnya tersisir rapi dengan bandana kotak-kotak. Baju atasannya, kaus longgar dimasukkan ke celana jeans biru pudar.
“Pah?” serunya. Matanya segera beralih ke kakinya yang tidak menapak ke jalan. Ipah memegangi sebelah pahanya, dan satu tangannya berpegangan ke pagar.
“Kenapa?” tanya Evi.
Ipah memandangi Evi dari atas ke bawah. “Lo mau pergi?”