Iqro

Xie Nur
Chapter #2

Izin Yang Tertunda

Rak ke-2

Matahari telah beranjak meninggalkan jejak bayang-bayang memanjang di bawah kaki. Wanita yang telah membuatku hidup masih tenang di mejanya. Tangan kiri memegang buku, tangan kanan menarikan pulpen hitam. Aku tidak mengerti apa yang sedang Ia kerjakan. Aku pun akhirnya memilih bermain-main dengan buku yang berderet rapi.

Tiba-tiba sebuah ingatan hadir berkerumun di sekitar. Sebongkah kenangan yang berasal dari penuturan Ibu sebagai penghantar tidurku.

Dahulu kala orang bagian barat menulis pesan menggunakan gulungan papyrus atau perkamen kulit domba yang disamak dan dibentang. Sedangkan orang Cina dan Jepang sebagai orang timur, membuat alas tulis dari kulit kayu yang diapit mirip lipatan kain gorden. Sementara kawasan nusantara buku terbuat dari susunan daun lontar. Membayangkan itu, ribet banget ya?

Eh, ternyata ada orang yang berpikir seperti aku itu. Mereka pun mencari cara bagaimana agar tulisan-tulisan tersebut bisa dibuka secara praktis dan mudah dibawa ke mana-mana. Pada tahun 200-an SM, Tsai Lun berhasil membuat kertas dari bahan dasar bambu. Kertas versi Tsai Lun begitu terkenal sehingga dipakai oleh seluruh negara.

Nah, kertas sudah ada, nih. Bisa ditulisi dengan indah pula. Masalahnya kemudian adalah saat harus memperbanyak tulisan-tulisan itu. Waduh, terbayang kan. Betapa pegalnya tangan bila harus menulis berpuluh salinan tulisan serupa. Lagi-lagi sangat tidak efisien.

Untungnya Om Gutenberg mempunyai ide menciptakan mesin cetak. Sebuah mesin salin agar orang-orang tidak perlu lagi menulis tiap lembar halaman untuk membuat buku dalam jumlah banyak. Katanya ini merupakan cikal bakal dunia penerbitan buku modern.

Begitulah, lumayan panjang perjalanan kelahiran buku yang kini menghuni perpustakaan sunyi dan toko buku yang semakin jarang pembeli. Sungguh sangat disayangkan. Perjuangan dirinya hingga menemukan bentuk sempurna seakan tersia-sia.

Masih lengang seperti pada umumnya perpustakaan. Sementara di luar hingar bingar langkah pejalan kaki terdengar riang. Deru kendaraan meraung-raung seakan menyelimuti kelengangan barisan buku yang bisu.

Aku kembali menghadap Ibu yang sama sekali tak terusik gemuruh di luar. Mencoba mencerna apa yang sedang dia baca dan catat. Mengapa pula dia harus repot menulis jika sudah cukup dengan membaca saja. Kurang kerjaan sekali. Penasaran aku mengintip apa yang dia tuliskan.

Huh, tulisannya sangat buruk!

Aku sama sekali kesulitan membaca rangkaian kata yang tergores di kertas hasil dari penemuan Federich Gottlob Keller yang merintis pembuatan pulp dari kayu. Keren sekali. Ternyata sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang ada berhasil membawa inovasi baru. Malahan di Danzig, Carl Dahl membentuk kertas seperti sekarang ini. Kira-kira pada tahun 1884. Wow, seabad yang lalu.

Sungguh aku tak percaya, Ibu tega menorehkan sesuatu yang nyaris tak terbaca seperti geliat cacing yang ketakutan. Padahal orang-orang yang membuat kertas itu berharap hasil karyanya berhias ukiran indah tangan manusia.

“Permisi, Mbak!” sapa seseorang yang berhasil menegakkan kepala Ibu.

Seorang Bapak setengah baya dengan kumis tebal telah masuk melihat-lihat seperti tamu sebelumnya. Hanya sebentar, untuk selanjutnya dia sudah duduk di depan Ibu.

“Bukunya banyak ya, Mbak?” ucapnya sebagai kata pembuka. “Koleksi sendiri atau pembelian masal?”

Tersenyum Ibu menjawab, “Ada yang koleksi sendiri, ada yang beli dari bekas persewaan, ada juga buku titipan.”

“Oo...” Bapak itu manggut-manggut. “Berarti harus jadi member untuk pinjam buku di sini?”

Lihat selengkapnya