Iqro

Xie Nur
Chapter #3

Nyanyian Anak-Anak

Rak ke-3

Segerombolan anak kecil datang menyerbu. Mereka segera berlarian kecil ke sana ke mari melihat buku secara acak. Aku benci anak kecil, mereka membuat gaduh suasana. Dan lihat mereka membuat kacau tatanan buku yang telah Ibu susun rapi.

Aku memandang Ibu berharap dia menghentikan aksi liar mereka. Tapi yang kudapati, dia malah senyum-senyum sumringah mendekati mereka. Dengan lembut Ibu menunjuki buku yang memang diperuntukkan bagi anak-anak.

“Di sini buku-buku untuk kalian,” kata Ibu berjongkok di bawah deret buku non fiksi. Pada bagian kaki rak memang terdapat buku-buku anak yang sifatnya mendidik dari pada komik yang sedang mereka selisihkan.

Secara tidak terduga, anak-anak segera menyerbu Ibu.

“Eh, ada cerita putri.”

“Ini bagus,” kata Ibu memperlihatkan sebuah buku yang berjudul Princess Noura. Buku tentang putri yang lebih Islami dibanding cerita putri barat yang mengumbar mimpi.

Anak berambut model Dora langsung menyambar buku itu. Seorang lagi segera mengambil seri lain. Si hitam manis tidak peduli tetap pada pilihannya cerita dongeng nusantara, sementara yang berambut ikal asyik melihat-lihat deretan buku sambil melarikan tangannya pada tepian luar samping buku.

“Silakan lihat-lihat ya,” kata Ibu beranjak membiarkan empat orang anak berumur tujuh tahunan mengembara dengan imaji mereka.

“Mbak, kalau baca harus bayar ya?” tanya seorang anak berambut ikal sebahu.

“Khusus kalian, baca di sini gratis,” kata Ibu membuatku tersenyum kecut. Bagaimana Ibu ini, mereka si biang kerusuhan malah diizinkan membaca gratis.

“Asyik gratis!” seru yang lain.

“Kalau pinjam bawa pulang, sewanya berapa?” Anak yang berkulit paling gelap mengajukan pertanyaan.

“Kalau yang adik pegang itu seribu, tapi kalau yang agak tebal dua ribu,” jawab Ibu.

“Harus daftar dulu ya, Mbak?" tanya anak dengan rambut kuncir kuda.

“Iya, biar gampang melacaknya kalau buku tidak kembali.” Ibu masih menyahuti dengan sabar.

“Tuh, harus daftar dulu,” celoteh yang lain.

Ibu tersenyum geli melihat polah mereka. Aku pun turut menikmati sensasi manakala anak-anak begitu antusias memilih bacaan. Bukankah sedari kecil mereka harus dikenalkan dengan buku? Agar kelak ketika dewasa mereka tidak ketakutan saat melihat buku seperti kebanyakan orang Indonesia dewasa sekarang. Selalu ada alasan menghindar jika berjumpa dengan tulisan dalam kertas tebal. Alasan mahal lah, alasan tidak ada waktu lah dan sebagainya.

Tiba-tiba aku begitu menyukai anak-anak itu dengan berjuta harap, mereka akan menjadi generasi yang gemar membaca. Tak salah kiranya jika Ibu menyediakan satu deret rak yang berisikan buku anak-anak yang bermutu.

“Besok aku mau pinjam ini, hari ini aku tidak bawa uang.” Seorang anak dengan kuncir ekor kuda yang dari tadi asyik membaca berujar pada teman-temannya. “Daftarnya berapa, Mbak?” tanyanya ke Ibu.

“Untuk anak-anak kecil yang manis seperti kalian, nol rupiah,” sahut Ibu tersenyum renyah.

Si Kuncir Kuda tampak berpikir keras. “Nol rupiah,” katanya mengulang dalam kebingungan.

“Gratis, Sayangku,” terang Ibu. “Sekarang kalian baca saja dulu di sini.” 

Si rambut ikal yang dari tadi cuma berkeliaran mendekat dan duduk depan Ibu.

“Sedang baca apa, Mbak?” tanyanya.

“Oh ini, buku Hafalan Sholat Deliza.”

“Bagus?” komentarnya sambil menopang dagu.

“Iya, bagus dong. Cerita seorang anak yang selamat dari tsunami Aceh. Meski dia kehilangan Ayah-ibunya, bahkan kehilangan sebelah kakinya. Namun hafalan doa salat tidak hilang dari ingatan.”

“Kasihan,” komentar Si Rambut Ikal.

“Hayo, kamu salat berapa kali sehari?” tanya Ibu tidak terduga.

Si Rambut Ikal menyeringai, “Kadang lupa, Mbak,” sahutnya polos.

Ibu tertawa, “Makanya biasakan salat teratur tiap hari biar tidak lupa.”

“Itu tulisan apa?” tanya Si Rambut Ikal lagi mengalihkan pembicaraan.

Wah, pertanyaan bagus kawan! Seruku menepuk punggungnya. Aku juga ingin tahu sebenarnya apa yang sedang Ibu tulis dengan membawa buku itu.

“Lagi buat resensi.”

“Resensi?” ulang Si Rambut Ikal. Dia menanyakan maksud dari resensi dengan pengulangan kata.

“Merangkum isi buku. Biar tidak lupa apa isi buku ini,” terang Ibu yang langsung membuatku mengerti. Entah dengan anak itu.

Lihat selengkapnya