Iqro

Xie Nur
Chapter #4

Akankah Kelak Buku Menjadi Benda Pusaka?

Rak Ke-4

Lengang. Tidak ada satu pun yang tertandang datang. Aku terserang kesepian. Meski seingatku selalu ada peringatan untuk tidak membuat bising perpustakaan, tapi di negara kita itu sama sekali tidak berlaku bukan? Perpustakaan selalu riuh dengan aneka percakapan dan cekikikan. Yang aku dengar perpustakaan bukan lagi menjadi tempat membaca atau mencari buku, kadang malah sebagai tempat pacaran syahdu. Menggelikan sekali.

Samar-samar aku ingat dongeng Ibu tentang sejarah keberadaan perpustakaan. Konon sebelum ada kertas, orang Sumeria selalu menyimpan tulisan jadwal kegiatan, pengetahuan sederhana dalam bentuk lempeng tanah liat pada sebuah ruang khusus. Sementara orang Yunani melakukan penyuntingan, penyusunan menurut bentuk kemudian memberi catatan pada 700.000 gulungan papyrus. Pengkodifikasian tersebut menghasilkan bibliografi sastra Yunani sejumlah 120 jilid.

Ibu juga bilang kalau Raja Mesir yang menjabat pada tahun 323 SM sangat tergila-gila pada ilmu pengetahuan. Dia bahkan sampai membelanjakan harta kerajaan untuk membeli buku dari seluruh pelosok negeri. Jumlah buku yang terkumpul saat itu mencapai 442.800 buku. Sayangnya, buku-buku itu musnah terbakar ketika bangsa Romawi melakukan penaklukan. Dunia ilmu berduka, sumber ilmu terbaik hilang begitu saja.

Bisa dilihat bukan, betapa orang dulu sangat mencintai buku dan telah memiliki ruang penyimpanan khusus. Tidak seperti sekarang, teknologi komputer dengan internet sedikit banyak membuat perpustakaan yang dulu berjaya kini hampir terpuruk kesepian dalam arti yang sebenarnya.

Sekarang orang lebih suka mengobrol atau bermain-main dalam dunia maya. Mengasyikkan, praktis, melenakan. Itu yang kudengar dari celotehan para penikmatnya.

Ibu masih saja duduk di sana, berjibaku dengan buku, kertas dan pulpen. Aku pun kembali menekurinya, turut membaca tiap halaman berusaha memahami apa yang sedang Ibu tuliskan.

Bunyi kelunting lonceng menegakkan kepala kami. Seorang pria mengulur senyum dan mengucap salam.

“Mari silakan!” sambut Ibu.

“Rentalan komik baru, ya Mbak?” tanya orang itu begitu duduk lalu melihat sekeliling. “Beli komiknya di mana?”

“Iya, kurang lebih seminggu baru buka. Saya beli komik di Toko Buku Besar.”

“Oh maaf, perkenalkan saya dari Toko Buku Agency.” Orang itu mengeluarkan brosur penawaran. “Barangkali berminat, harga dari kami bisa diskon dan delivery. Di Toko Buku Besar tidak ada diskon, kan. Mbaknya juga harus ke sana langsung. Kalau pesan dari kami, Mbaknya tinggal duduk manis kirim pesan apa saja komik yang mau diambil, hari berikutnya buku komik sudah datang. Nanti kami kirimi jadwal komik yang akan terbit.”

Ibu manggut-manggut mendengarkan ocehan tukang buku dengan seksama. Binar tertarik terpancar dari matanya.

“Diskonnya berapa persen?” tanya Ibu dengan roman muka penuh harap akan mendapat diskon banyak.

“Dua puluh persen.”

“Baik, saya ikut ambil. Ada nomor kontak?” kata Ibu tanpa pikir panjang. Terus terang aku menyayangkan keputusannya yang kilat.

Orang itu membuka tas selempang kecil hitam. “Ini kartu nama saya.”

“Mas Hasan,” cetus Ibu menyebut nama si penjual buku. “Saya Nove.”

“Ya, baik Mbak Nove. Nanti setiap Senin saya kirimi jadwal komik yang terbit pada hari Kamis.”

Lihat selengkapnya